Kisah nyata yang horor keren abis. Asli anda wajib baca. Seru banget dan penuh hikmah. Sebuah kisan santet yang mirip2 dengan kisah yang pernah kami alami. Yuk dibaca sampai selesai Kisah Nyata Santet, Penculikan Sukma oleh Jin Sihir. Semoga menghibur.
Kisah Nyata Santet, Penculikan Sukma oleh Jin Sihir
S A N T E T
Ini sebuah kisah nyata seputar dunia santet jaman dahulu yang saya copas dari sebuah apl. Seru, horor dan kisahnya mirip dengan apa yang kita alami. Ada kemarahan, dendam, pengkhianatan, tangis, air mata dan kisah mengharu biru yang melatarbelakanginya. Ada rahasia, teka teki yang tidak disangka akhirnya terpecahkan.
Sahabat harus membacanya pelan-pelan dari awal sehingga bisa menikmati keseruan sekaligus menangkap hikmah atau pesannya. Ini part 1, untuk part 2 sampai tamat silahkan baca di fanpage Klinik Pendekar Langit. Langsung saja kita mulai ya?
AAAA
.
.
Saya tinggal didaerah subang, nama kampungnya saya samarkan saja ya..demi kebaikan bersama. Sedangkan saya sekarang berada dikota bandung sedang menimba ilmu disalah satu universitas. Pengalaman yang saya lihat tentang kasus ini satu bulan sebelum bulan puasa kemarin, lebih tepatnya saat saya libur setelah UTS saya pulang ke rumah untuk liburan.. bapak saya adalah seorang petani dan pedagang sekaligus profesi sampingannya yaitu membantu orang, saya tak tahu harus mendifinisikan apa untuk bagian membatu orang ini.
Jadi begini didesa saya ini kebudayaan hindu masih kental, sekalipun islam adalah agama resmi penduduknya tapi tradisi hindu lama tak bisa dilepaskan, seperti membakar kemenyan saat jarah ke makam, atau melakukan upacara-upacara adat dikampung seperti ruatan bumi dan sebagainya, saya tak tahu apa ini tradisi hindu atau hanya adat istiadat setempat yang pasti kebiasaan itu masih betahan sampai sekarang.
Bapak saya belum terlalu tua, umurnya baru 45 tahun, bisa dibilang masih muda, bapak saya adalah orang yang selalu dimintai untuk mendoakan kemenyan saat mau jarah ke makam atau mendoakan air untuk orang yang sakit. Mungkin bisa dibilang orang pintar atau dukun, tapi saya menolak dibilang dukun, karena bapak saya tidak membuka praktek, beliau hanya mencoba membantu orang-orang sekitar dengan ilmu kebatinan dan tidak memungut bayaran, sekalipun ada saja orang yang berterima kasih dengan imbalan uang dengan nominal paling besar 20 ribu rupiah, saya tahu karena saya sering melihatnya kalau sedang dirumah. Tidak melakukan ritual yang aneh-aneh, bila ada orang sakit biasanya bapak hanya memberikan air putih dalam botol aqua yang sudah dilafalkan doa-doa.
Bapak saya belajar doa-doa dan semua ilmu kebatinannya dari kakek saya, dulu sewaktu kakek saya masih hidup dia adalah sesepuh kampung sekaligus seorang “syeh mayit”. Saya tak tahu apa sebutan nasionalnya atau nama di daerah lain julukan untuk seseorang yang berprofesi untuk mengurusi mayat mulai dari memandikan menyolatkan sampai menguburkan. Tapi dikampung saya orang yang bertugas untuk mengurus mayat disebut “syeh mayit”.
Disini untuk pertama kalinya pengalaman teraneh yang pernah saya alami dimulai. Berawal dari kedatangan seorang pemuda usianya sekitar 25 atau 27 tahunlah sekitar segitu dari kampung sebelah kerumah saya. Namanya maaf saya samarkan yah demi kebaikan bersama, kita anggap saja namanya asep. Kang asep ini datang kerumah ba’da isya, saya masih ingat karena waktu itu sedang asyik nonton tv dan kemudian ibu saya teriak-teriak nyuruh sholat.
Kang asep datang kerumah bilang karena istrinya sedang sakit, dia membawa botol mineral ukuran satu liter, saya yang sedang asyik menonton tv diruang tengah mendengar percakapan antara bapak dan Kang asep kurang lebih seperti ini (percakapan ini dalam bahasa sunda namun saya translatekan kebahasa indonesia agar semuanya bisa paham) :
Kang Asep : “istri saya sudah seminggu sakit pa
Bapak : “kenapa tidak dibawa ke mantri di puskesmas, memangnya sakit apa ? ”
Kang Asep : “lemas, ga bisa bangun. Kata pa mantri ini sakit demam aja, tapi obat sudah habis masih tetep aja, besok mau dibawa kerumah sakit rencananya pak. Tapi sebelumnya saya mau minta tolong. Takutnya ini ada apa-apa gitu”.
Bapak : “apa-apa, apa ? ” bapak saya memang suka bercanda.
Dikampung saya setiap kali ada orang yang sakit, selalu dikaitkan dengan hal-hal mistis.maka tak heran orang-orang lebih memilih membawa kerabat atau keluarganya yang sakit untuk berobat ke orang pintar daripada ke dokter. Tak heran sih, soalnya biaya pengobatan alternatif dinilai lebih murah daripada harus dibawa kerumah sakit.
Bapak yang mendengar penjelasan Mas Asep lalu meminta sebotol air mineral yang telah dibawa, kemudian bapak memejamkan mata dan merafalkan doa-doa. Saya yang awalnya tidak tertarik kemudian beralih ke ruang tamu bersama ibu. Sementara bapak masih sibuk dengan meditasinya, saya dan ibu mencoba berbincang dengan Mas Asep mulai dari menanyakan keadaan istrinya hingga akhirnya obrolan ngaler-ngidul yang tak juntrung tujuannya.
AAAA
Ketika sedang asik-asiknya kami berbincang bapak terperanjat kaget yang hampir saja menjatuhkan air dalam botol yang sedang dipegangnya. Sontak kami semua kaget melihat reaksi bapak yang tiba-tiba.
“kenapa pak ?” kang Asep yang posisinya berada didekat bapak replek bertanya.
“engga, ini kirain kecoa dibawah.” Jawab bapak dengan bercanda seperti biasa.
Namun saat mas asep sudah keluar dari rumah kami, bapak berkata pada ibu dengan mimik muka serius “kasian istri si asep. Semoga tidak apa-apa.” Sejak ucapan bapak hari itu saya curiga ada yang tidak beres dengan istrinya kang asep.
Benar saja, setelah tidak ada kabar selama bulan puasa, kang asep datang kerumah 2 hari setelah lebaran. Dia bilang istrinya malah tambah parah. Istrinya sekarang malah seperti orang ayan. Kalau dulu Cuma lemas, sekarang dia seperti orang gila. Kadang tertawa-tawa sendiri kadang menangis. Bahkan yang lebih parah kata kang Asep kalau sedang mengamuk, istrinya bisa marah-marah tak jelas membuat kegaduhan dengan melempar barang-barang dan teriak-teriak.
Sekedar info Kang Asep ini orang yang cukup berada, dia adalah bandar nanas. Orang yang suka beli nanas dari petani terus ia jual ke pasar. Oh iya dan nama istri kang Asep ini saya samarkan juga yah takutnya ada keluarganya yang membaca, kan saya jadi ga enak membeberkan rahasia orang lain hehe.. sebut saja nama istrinya Teh Ratih. Kata kang Asep selama bulan puasa kemarin dia dibuat kerepotan, usahanya terbengkalai, maklum dia bandar kecil jadi segala sesuatu diurusnya sendiri tanpa karyawan. Uang tabungannya juga menipis karena harus bolak-balik ke rumah sakit. Begitu ucapnya kepada bapak.
Gejala yang aneh dimulai ketika istri kang Asep dirawat dirumah sakit. Kata kang Asep waktu itu jam 1 malam sedang menjaga istrinya dikamar rumah sakit dia merasa lapar. Tanpa pikir panjang karena melihat teh Ratih sudah tertidur lelap dia keluar untuk mencari makan, karena didepan rumah sakit ramai oleh pedagang yang menjajakan dagangannya.
Pas selesai makan kang Asep balik lagi ke kamar, Teh Ratih sudah ga ada diranjangnya. Awalnya dia ga merasa aneh atau curiga karena mungkin sedang ke kamar mandi yang letaknya emang berada diluar kamar, maklum walaupun kang asep ini orang yang cukup berada tapi hanya mampu untuk menyewa kamar kelas 3 yang minim fasilitas dan isi pasiennya bisa sampe 6 orang.
Lima belas menit berlalu teh Ratih belum juga datang, maka Kang asep berinisiatif buat melihat ke kamar mandi. Ketika sampai didepan kamar mandi dia mengetuk pintu sambil memanggil-manggil nama istrinya. Namun ternyata pintunya tidak dikunci, kang Asep kaget bukan kepalang ketika melihat istrinya sedang jongkok seperti anjing dan menjilati air WC, dia muntah sejadi-jadinya melihat kelakuan istrinya yang diluar nalar itu. Wajah teh Ratih pucat, mata melotot sempurna, lidahnya melet-melet persis seperti anjing. Begitu ucap kang Asep kepada bapak sore itu.
mendengar cerita kang asep tentang istrinya membuat bulu kuduk saya merinding dan juga merasa mual. Apalagi ibu yang tak kuat dan langsung pergi ke kamar mandi. Sejak melihat kejadian itu kang Asep merasa yakin bahwa istrinya bukan sakit biasa, bukan sakit secara lahiriah. Maka dibawa pulanglah teh Ratih kerumah.
Saya yang setelah cukup lama tinggal dibandung bisa dibilang bergelut dengan dunia moderenisasi tidak kepikiran waktu itu bahwa teh Ratih diguna-guna, keimanan saya pada hal-hal mistis sedikit demi sedikit telah luntur. Lagian guna-guna atau santet setahu saya yang sering lihat ditv biasanya Cuma sakit perut, muntah darah atau muntah paku. Hingga akhirnya bapak berkata bahwa istri kang Asep ini ada yang ganggu.
“saya juga udah yakin pa, tapi siapa orangnnya koq sampe tega. Perasaan saya tak pernah bertengkar sama orang atau nyakitin hati orang.” Ujar mas asep kepada bapak dengan raut wajah penuh tanya.
“saya tidak tahu.” Bapak tak menjawab rasa penasaran kang Asep.
Saya tidak tahu apakah bapak benar-benar tidak tahu atau hanya menjaga situasi agar tetap kondusif. Maklum masalah gaib-pergaiban itukan susah untuk dibuktikan secara kasat mata, walaupun kita sudah tahu siapa pelakunya tapi tanpa bukti yang jelas takutnya dibilang fitnah. Mungkin bapak menjaga agar kang Asep tidak bertindak sembrono.
“saya harus gimana ? mohon bantuannya lah pak ?”
“Saya juga ga terlalu paham sep, masalah beginian. Biasanya bapak Cuma ngusir orang yang ditempelin jurig jarian saja (jurig jarian itu istilah untuk setan kelas bawah yang biasanya diam ditempat-tempat seram, seperti pohon beringin dan sebagainya) tapi insyaalloh bapak coba bantu sebisa mungkin”. Mendengar permintaan kang Asep, bapak tampak kebingungan.
Tidak seperti biasanya kali ini bapak tak meberikan air yang sudah di doakan, mungkin beda perkara. Bapak hanya menyuruh kang asep pulang dan memberikan semacam hafalan atau doa khusus yang telah ditulis bapak dalam kertas, katanya untuk diamalkan sehabis sholat isya.
Sebelum pamitan kang Asep meminta nomer handphone bapak, jaga-jaga untuk keadaan darurat katanya. Walaupun desa saya terpencil dan listriknya masih belum stabil karena sering mati lampu, tapi semua penduduknya udah punya handphone walaupun masih tipe-tipe nokia jadul hehe..
Setelah kedatangan kang Asep untuk yang kedua kalinya bapak jadi sering bangun malam untuk wirid. Saya biasanya kebangun karena mendengar suara cipratan air ketika bapak berwudhu dikamar mandi.
Setelah dua hari, tepat jam 8 malam kang Asep nelpon. Kami yang sedang asyik berkumpul diruang tengah, ibu, saya dan kedua adik perempuan saya jadi ikut gelisah melihat bapak mondar-mandir sambil menelpon.
“kenapa pak ?” tanya ibu.
“ini si asep, katanya istrinya kumat lagi. Jang ayo anter bapa kerumah si asep.” setelah menutup telponnya mengajaku untuk mengantarnya. Jang itu kependekan dari ujang, sebuah panggilan sayang orang sunda terhadap anaknya kalau untuk cewe biasanya neng.
Dengan terpaksa mata saya yang sudah mengantuk sebenarnya, mengantar bapak karena tidak mau disebut anak durhaka.
Saya dan bapak berangkat jam 9. Molor satu jam semenjak kang Asep menelpon karena menunggu bapak dikamar entah sedang ritual apa, mungkin sedang melafalkan doa-doa.
Dikampung saya jam 9 malam itu udah setara dengan jam 12 malam, karena seisi kampung sudah pada tidur. Tidak ada tempat hiburan, tidak ada pedagang dan tidak ada hingar bingar lampu jalanan seperti saat saya dibandung. Setelah ba’da isya biasanya sudah jarang orang yang keluar rumah, kalaupun ada hanya bila ada keperluan saja itupun beberapa orang. Para pemuda-pemudi pun hanya keluar atau main malam pas ada hajatan saja, seperti dangdut, wayang golek atau layar tancep. Mereka lebih memilih diam dirumah dan nonton tv. Kecuali bapak-bapak yang kebagian buat ronda, sekalipun sekarang ronda sudah jarang aktif lagi, paling banter siskamling diaktifkan lagi kalau sedang musim pencurian saja.
Saya mengeluarkan motor bebek, motor lama kesayangan bapak yang hobinya ngadat kalau kehujanan. Honda astrea legenda peninggalan jaman muda bapak yang masih tersisa. Ibu meminta ijin kepada bapak untuk ikut tidur dirumah tetangga mba waryah seorang janda, entah kenapa suasana rumah menjadi mencekam setelah mendapat telpon dari kang Asep. Ibu saya memang seorang penakut.
Sekedar info jarak antara kampung saya dengan kampungnya kang Asep itu sekitar 8 kilometer, kampung kami dipisahkan oleh perkebunan teh. Melewati jalan besar yang jelek maklum jalan-jalan diperkampungan jarang diperhatikan mengingat mungkin pemerintah menganggap bukan jalan utama yang terlalu ramai.
Sayangnnya kebun teh untuk bagian dalam atau dipelosok tidak seindah perkebunan teh dipinggir jalan raya. Seperti di ciater misalnya yang pemandangan kebun tehnya begitu indah karena seperti savana hijau. kebun teh bagian dalamnya, khusunya yang menghubungkan kampung kami ini ditanami pohon mahoni, sempur, dan berbagai jenis pohon lainnya. Memang teduh kalau pada siang hari, tapi kalau pada malam hari terasa horor melihat pohon-pohon besar itu berdiri.
Saya menyalakan motor dan membonceng Bapak, dengan bismilah kami berdua berangkat menuju rumah kang Asep. Walaupun kami masih melewati jalanan kampung tapi suasana sepi begitu menyelimuti, maklum didesa saya jarak antar rumah kerumah lumayan renggang tidak seperti dikota yang padat dan saling menempel antara tetangga. Tidak ada seorangpun yang kami temui dijalan, mungkin karena sudah larut dan orang-orang sudah terlelap dalam mimpinya.
“bapak memang sudah tahu rumahnya kang Asep ?” aku membuka obrolan untuk mengusir dinginnya malam, entah kenapa malam ini angin begitu kencang sehingga rasa dingin seperti menusuk tulang.
“nanti dia nunggu di pinggir jalan katanya.”
Setelah melewati jalan perkampungan, kemudian kami akan melewati perkebunan warga, yang didominasi oleh kebun nanas. Buah nanas memang menjadi komiditi disini, kalian pasti sudah tahu bahwa kota subang memang penghasil nanas.
Disetiap kebun nanas warga selalu menanam pohon bambu, karena pohon bambu sangat berguna disini selain bisa dibuat untuk pagar, tiang, dan anyaman. Bambu mudanya juga bisa dimakan. Bayangkan pemandangan pohon-pohon bambu yang menjulang tinggi dimalam hari. Belum lagi ketika tertiup angin, pohon bambu ini akan bergoyang dan menghasilkan bunyi karena saling bergesekan. Tidak ketinggalan bunyi dari daunnya yang melambai-lambai seperti tangan dikegelapan. Belum lagi mitos didesa kami bahwa pohon bambu biasanya menjadi sarang atau tempat makhluk halus bersemayam.
Saya membawa motor dengan pelan, untuk menghindari jalanan yang berlubang. Tidak ada lampu jalan yang menerangi kami, hanya sebatas lampu depan motor yang menjadi petunjuk didepan. Keadaan benar-benar gelap, karena langit tampaknya mendung mau hujan karena tidak terlihat satu bintangpun.
Konstrentasi saya terpecah antara membawa motor dan perasaan takut yang yang tiba-tiba saja menyelimuti. Belum lagi dinginnya angin malam yang membuat wajah saya terasa kaku. Ketika sedang merasa takut pasti pernah merasakan bahwa kita selalu merasa sedang diikuti, perasaan untuk menengok kebelakang atau ke samping selalu saja menggoda kita. Pandangan didepan pun tak kalah horror karena gelap gulita, perasaan was-was kalau tiba-tiba saja lampu motor menyorot sesuatu yang mengerikan selalu menghantui.
Ngomong-ngomong soal menengok kebelakang. Mitos dikampung saya atau didaerah lain juga sama ? konon katanya kalau kita sedang jalan sendirian ditempat yang sepi, ketika takut dan merasa diikuti selalu saja tiba-tiba kita ingin menengok kebelakang. Jangan pernah menengok kebelakang karena katanya menengok kebelakang sama dengan lambaian tangan untuk si hantu. Dia akan merasa diajak atau dipanggil sehingga akan mengikuti kita.
Setelah melewati jalan yang diapit kebun nanas, masuklah kita kejalan utama. Maksudnya jalan yang cukup besar dan kalau siang hari menjadi tempat lalu lalang kendaraan warga. Tapi sayangnnya ini malam hari jadi keadaan sepi.
Kebun teh yang pada siang hari terlihat adem dengan pohon rindangnya, dimalam hari begitu menyeramkan, terdengar suara gemuruh ketika daun dan dahan saling bergesekan karena angin. Lengkap dengan suara jangkrik. Ingin rasanya saya menarik pedal gas hingga kecepatan maksimal, tapi sayang kondisi jalan yang jelek tidak memungkinkan.
“baca ayat kursi jang.” bisik bapak saya tiba-tiba.
Mendengar perintah bapak saya merasa panik, maksud hati ingin bertanya alasannya tapi saya lebih memilih diam saja. saya hanya menebak mungkin karena kita melewati sebuah tanjakan. Dikampung saya ini ada sebuah tanjakan, hanya terkenal disekitaran kampung saja, katanya dulu kata bapak saat saya masih kecil, tepat dipinggir tanjakan ada sebuah pohon mahoni besar tempat dimana dulu ada orang gantung diri.
Tanjakan ini juga biasanya menjadi tempat para begal bersembunyi untuk merampok korbannya. Beberapa kali pernah terjadi kasus begal dan tkpnya selalu disini. Mungkin si perampok ingin memanfaatkan keadaan panik dari pengendara.
Setelah melewati tanjakan itu, disamping kami ada suara krasak-krusuk. Saya mengira itu hanya suara musang yang lewat atau mencari makan. Tapi suara itu seperti mengikuti kami, saya yang gemetar dan ingin menengok kesamping ditepuk oleh bapak dan menyuruh untuk melanjutkan dan jangan berhenti.
Saat sedang menyetir dengan perasaan deg-deggan samar-samar didepan terlihat sepasang mata. Bersinar tampak kontras ditengah kegelapan. Seketika saya menginjak rem, bapak merasa kaget karena saya berhenti tiba-tiba.
“kenapa jang ?”
“itu didepan apa ?” jawab saya pelan sambil menunjuk kedepan.
“astagfirruloh, kita dihalangi agar jangan datang kerumah si Asep”. Jawab bapak pelan.
Tidak terlihat jelas, hanya samar-samar terlihat mata itu ditengah jalan. Tapi mata itu posisinya berada dibawah, seperti sedang berjongkok. Saya mengira itu musang tadi yang mengikuti kami. Saya tidak mengerti ucapan bapak yang katanya jalan kita dihalangi.
“gimana pak ?”
Bapak lalu turun dari motor, waktu itu saya kepikiran jangan-jangan begal. Lalu bapak teriak-teriak manggil “saha didinya-saha didinya ?” (siapa disana ?). saya menyarankan untuk putar balik buat pulang tapi bapak membentak saya.
Karena teriakan bapak tak kunjung ada jawaban, dan kedua sinar mata itu ga juga pergi. Maka bapak memutuskan untuk mengambil batu segede kepala tangan, dilemparlah batu itu kedepan. Mata itu tidak juga pergi, malah anteng aja didepan seperti menatap kami. Karena mungkin bapak merasa kesal bapak menyuruh saya untuk jalan pelan-pelan. Awalnya saya menolak karena ketakutan, tapi bapak memutuskan untuk jalan duluan diikuti saya dari belakang. Lampu motor disenter jarak jauh buat mastiin apa yang ada didepan itu. Saya dan bapak jalan dengan pelan.
Begitu lampu motor perlahan menyorot cahaya mata itu, kaget bukan kepalang sampe saya tak sengaja menekan klakson. Seekor anj1ng hitam berdiri persis ditengah jalan. Tubuhnya seukuran anj1ng normal, tapi bulunya hitam legam, matanya berwarna hijau. dengan lidah terjulur keluar anj1ng itu menatap kami berdua.
Seketika bulu kuduk saya merinding, tentu saja ini bukan anj1ng biasa. Walaupun dikampung saya ada yang punya anjing, saya yakin tak pernah melihat anj1ng dengan warna hitam, jadi bisa dipastikan ini bukan anj1ng milik warga. Bapak mengusir dengan melambai-lambaikan tangan sambil bilang huss..huss. tapi anj1ng itu tak terusik sedikitpun.
Mungkin karena bapak kesal karena si anj1ng tak mau juga pergi, maka bapak menyuruh saya untuk jalan saja. lagian anj1ng itu berdiri ditengah jalan, mungkin kita bisa jalan dipinggir saja mengingat ini jalanan lebar. Tapi saya tak berani, menolak permintaan bapak. Entah kenapa walaupun itu seekor anj1ng dan saya sering melihat anj1ng tapi perasaan takut tak bisa dibohongi mungkin karena melihat kelakuan anj1ng yang seperti itu pada malam hari terasa tidak wajar. Maka bapak memutuskan untuk membonceng saya dibelakang.
Baru saja kita berjalan sebentar anj1ng itu berdiri sigap. Matanya yang tadi polos bulat kini menyipit menatap kami, menunjukan gigi runcingnya seperti hendak menerkam. Karena kaget bapak menginjak rem, waktu itu saya benar-benar ketakutan setengah mati sampai tanpa disadari memeluk pinggang bapak kuat-kuat.
Si anj1ng menggong-gong keras kearah kami. Bayangkan suara gonggongan anj1ng malam-malam ditengah kebun teh yang gelap gulita. Suara itu membahana dan menimbulkan gema, saya komat-kamit membaca ayat kursi, entah bacaan saya benar atau salah saya tak ingat lagi karena saking paniknya. Tapi bapak malah menatap anj1ng itu seolah sedang menantangnya, tapi kayanya bapak deg-degan juga, soalnya waktu saya ketakutan dan meluk pinggang bapak terasa jantungnya berdetak dengan kecang didada.
Anj1ng itu tampaknya menyuruh kami untuk pulang, seakan-akan menghalangi kami untuk datang kerumah kang Asep. saya tak berani melihat kearah anj1ng itu, tapi sesekali mengintip dari pundak bapak, anj1ng itu tampak geram seperti ingin menyerang kami. Saya terus melafalkan ayat kursi kali ini dengan suara keras karena saking takutnya.
Bapak dan anj1ng itu saling bertatapan cukup lama seperti sedang melakukan perbincangan secara batin, saya hanya menduga saja tak bisa memastikan. Hingga kemudian suara handphone bapak berdering kembali, tapi bapak sepertinya tidak terusik sama sekali terus beratapan dengan anj1ng itu. Karena saya merasa gelisah dan takut mendengar suara handpone dalam kesunyian, saya memberanikan diri mengambil handphone bapak dari saku jaketnya. Ternyata Kang asep menelpon, kemudian saya mengangkatnya.
“assalamualaikum, punten pa, masih dimana yah ? “
Saya hendak menceritakan apa yang kami alami disini, siapa tahu kang Asep bisa membantu untuk menjemput kami. Tapi saya malah menjawab
“lagi dijalan kang sebentar lagi.” Kemudian saya menutup telponnya saking takutnya.
Entah berapa lama bapak dan anj1ng itu terus bertatapan, hingga anj1ng itu menggong-gong sejadi-jadinya tanpa henti. Saya menutup telinga karena tidak kuat dengan suaranya yang sangat keras. Sambil menggonggong si anj1ng mulai melangkahkan kakinya, wajahnya tetap menyeringai hendak menerkam.
Bapak yang merasa ditantang si anj1ng kemudian turun dari motor. saya yang waktu itu ketakutan mencoba menarik jaket bapak untuk menahannya, tapi bapak malah menggubris tangan saya dan terus berjalan seperti ingin meladeni tantangan si anj1ng. Tanpa diduga bapak mengeluarkan sebuah lidi dari balik jaketnya, panjangnya sekitar dari jari tengah tangan sampai siku. Mungkin bapak sudah menduga kejadian ini, dan saat tadi dirumah berlama-lama dikamarnya sedang mempersiapkan hal-hal yang mungkin akan terjadi diluar dugaannya.
Bapak mengacungkan lidi tersebut, sambil mengayun-ngayunkannya ke arah si anj1ng seperti hendak mencambuk. Anj1ng hitam itu menghentikan langkahnya, namun wajahnya tampak lebih marah. Saya yang waktu itu melihat adegan tersebut panik, takut kalau-kalau si anj1ng loncat dan menerkam muka bapak. Saya merasa heran bagaimana bisa bapak melawan seekor anj1ng yang tampak ganas dengan sebatang lidi.
Tapi rupanya ilmu saya terlalu cetek untuk memahami tingkah bapak. Setelah terus-menerus bapak mengayun-ngayunkan lidi itu, si anj1ng hitam secara perlahan mundur. Tapi wajahnya terus menyeringai, tampak air liurnya keluar menetes dengan deras dari mulutnya yang lebar. Beberapa kali si anj1ng mondar mandir ke kiri dan ke kanan tapi tatapannya tak pernah lepas dari bapak, seperti hendak mencari celah untuk menyerang.
Kali ini bapak mulai memberanikan diri meloncat kedepan hendak mecabuk si anj1ng hitam, namun dengan gesit si anj1ng mundur menghindari cambukan bapak yang kemudian berlari kebelakang. Seringai seram si anj1ng mulai hilang, tapi matanya yang bersinar hijau dikegelapan itu tetap menatap kami. seperti gagal melakukan misi si anj1ng memutuskan untuk pergi, ia masuk ke semak-semak kebun teh, yang kemudian diikutin suara gong-gongngannya beberapa kali. Kini anj1ng itu hilang ditelan kegelapan malam.
Karena saya terlanjur syok dan kaki saya gemetaran karena ketakutan, maka ketika melanjutkan perjalanan kerumah kang Asep bapaklah yang membawa motor sementara saya duduk dibelakang. Tentu saja saya duduk dibelakang dengan perasaan was-was takut kalau-kalau si anj1ng itu balik lagi dan menerkam saya dari belakang.
Tapi tidak begitu lama, dari arah depan tampak sebuah cahaya lampu bulat berwarna kuning. Ketika jarak kami mulai dekat, terlihat bahwa itu kang Asep dan seorang pria yang tidak saya kenal dibonceng dibelakangnya.
“saya menyusul, takut terjadi apa-apa. Soalnya pas tadi ditelpon katanya lagi dijalan. Takut kalau ban motornya bapak bocor.” Kata kang asep kepada bapak.
“engga, Cuma pelan aja bawa motornya, maklum jalannya jelek.” Saya heran, kenapa bapak tak menceritakan peristiwa yang baru saja kami alami. Mungkin bapak tidak mau membuat suasana semakin panik.
kami berangkat melanjutkan perjalanan, motor kang asep mengikuti kami dari belakang. Sekarang saya sedikit tenang, seandainya anjing itu datang lagi dan hendak menerkam, setidaknya masih ada orang dibalakang saya.
Akhirnya kami tiba dikampung kang asep. setelah masuk ke jalan kecil dan melewati kebun singkong sebuah rumah dengan cat putih terlihat. Kang asep membunyikan klakson, saya menduga dia ingin memberitahu bahwa itu rumahnya.
Begitu kami masuk rumah, kang Asep memperkenalkan kami dengan mertuanya, seorang wanita parubaya dan adik iparnya yang tadi ikut bersama kang asep dibonceng dibelakang. Dirumah itu Cuma mereka bertiga kata kang asep, bapak mertuanya sekitar 2 bulan yang lalu sudah meninggal. Tadi sore rumah ini sempat ramai oleh tetangganya yang ingin menjenguk,tapi sekarang sudah sepi.
Setelah minum kopi hangat sajian mertua kang asep, kami dibawa kekamar untuk melihat kondisi istrinya yang sakit. sebenarnya saya ingin duduk saja sambil menikmati kopi dan cemilan yang disajikan, namun karena rasa penasaran saya mengikuti bapak dari belakang.
Tampak Seorang wanita mengenakan daster merah motif kembang-kembang sedang duduk berbalut selimut. Rambutnya panjang tergerai, dengan kulit sawo matang. Tatapannya kosong kearah jendela, sepertinya dia tidak sadar dengan kedatangan kami. Kemudian kang Asep memperkenalkan bahwa wanita itu istrinya, teh Ratih.
“neng..neng…neng” bapak memanggil-manggil teh Ratih.
Teh ratih tidak merespon, dia masih anteng melihat kearah jendela. Wajah teh ratih tampak pucat, lingkarang hitam disekeliling matanya tampak jelas (istilahnya mungkin mata panda) kata kang Asep istrinya itu jarang sekali tidur, kalau tidak kumat ya kerjaannya seperti itu bengong. badannya juga kurus, bahkan tulang belikat dibawah lehernyapun terlihat.
Bapak menyuruh kang asep untuk mengambil segelas air putih, setelah dibawakan bapak kemudian melafalkan doa-doa. Setelah selesai, sedikit demi sedikit air itu dicipratkan kewajah teh Ratih. namun kaget bukan main semua orang yang ada dikamar itu termasuk saya ketika melihat reaksi teh ratih saat menerima cipratan air doa dari bapak. Tangannya menyamber gelas yang sedang dipegang bapak, hingga terpental kearah tembok. Bunyi denting gelas terbentur Cumiikan telinga, hingga pecahan kacanya berhamburan kemana-mana, bahkan hampir saja mengenai mata mertua kang Asep.
Teh Ratih berubah ekpresi yang tadinya kalem dan kosong kini tampak marah. Matanya melotot sempurna, giginya menyeringai bahkan terdengar gemeletuk dari gigi yang ditekan secara berlebihan sehingga terasa ngilu bagi kita yang mendengar. Deru nafasnya semakin kencang seperti orang yang sedang menahan amarah. teh ratih menyender ketembok seakan sedang ancang-ancang untuk menyerang, jari tangannya terus mencakar–cakar tembok membuat ngilu bagi yang melihat apalagi mendengar suaranya.
“ini bukan istrimu sep” kata bapak pelan.
Baru saja bapak lengah menengok kearah kang asep, teh ratih loncak menerkam bapak. Kini leher bapak berada dalam cengkaraman teh ratih, kami yang panik melihat kejadian itu segera menarik tubuh teh ratih. Bayangkan tiga orang pria, saya, kang asep dan adik iparnya menarik tubuh seorang wanita kurus secara logika seharusnya bukan masalah. Tapi diluar dugaan kami, teh ratih masih kokoh mencekik bapak tidak goyah sedikitpun bahkan saat kami beritiga menariknya sekuat tenaga.
Ibu mertuanya yang panik, menangis sambil berlari keluar mungkin hendak mencari bantuan. Sementara kami terus berusaha melepaskan teh ratih. Muka bapak tampak merah, nafasnya tersengal-sengal tapi bibirnya tampak berkomat-kamit mungkin sedang melafalkan doa. Teh ratih medekatkan wajahnya kearah bapak hingga mulutnya hanya berjarak beberapa centimeter saja dari muka bapak, dan tanpa disangka-sangka dia berteriak sejadi-jadinya. Kami yang sedang berusaha menarik tubuh teh Ratih replek menutup telinga.
Setelah berteriak teh Ratih loncat kearah depan melepaskan cengkramannya. Kemudian istri kang asep itu jongkok menatap kami. Seperti seekor binatang, teh ratih tampak tidak peduli lagi dengan penampilannya, dasternya yang robek bagian sampingnnya karena dia bergerak lincah dan tak teratur, sehingga bagian tubuh sensitifnya terlihat kemana-mana, tapi laki-laki mana yang akan birahi ketika melihat model wanita yang sedang dalam kondisi seperti kesetanan.
Tidak begitu lama ibu mertua kang Asep datang bersama rombongan, sekitar 8 orang dengan dua permpuan dan sisanya laki-laki. Mereka tampak keheranan menatap teh ratih didepan pintu masuk. Saat lengah itulah bapak menyentuh kepala teh ratih tepat dibagian jidat, bapak mencengkaramnya dengan kuat. Teh ratih berteriak-teriak, merontak bahkan tak segan untuk mencakar dan menedang tubuh bapak.
“bantu saya, pegang tangan dan kakinya” teriak bapak pada kami. Sontak semua pria yang ada disana ikut
membantu.
Walaupun tangan dan kakinya sudah dipegang kuat, tapi tampaknya teh tarih masih berusaha melawan bapak dengan memajukan mulutnya untuk menggigit. Mungkin saking kesalnya karena gigitannya tak juga kena, teh ratih meludahi bapak beberapa kali. Tapi bapak tak gentar dengan serangan yang dilakukan, hingga akhirnya teh ratih tergolek lemas tak berdaya. Setelah keadaan tenang teh ratih ditidurkan kembali diatas ranjangnya.
Menurut bapak yang ada dialam tubuh teh ratih bukan nyawanya sendiri, tapi mungkin setan suruhan seseorang sedangkan nyawa teh ratih tersesat berkeliaran. Saya kira kejadian itu hanya terjadi dalam film saja, ternyata nyawa bisa juga keluar dari tubuh kita dan tersesat. Entah benar atau hanya mengada-ngada dengan apa yang diucapkan bapak, tapi bila melihat kejadian yang baru saja terjadi memaksa saya untuk sedikit meyakininya.
“dia sedang kelelahan, mungkin nanti akan kumat lagi sep.” kata bapak.
“terus saya harus gimana pak ?”
Lalu bapak menjelaskan kepada kang asep bahwa ini pengalaman pertamanya menangani kasus seperti ini, dulu memang kejadian seperti ini pernah terjadi, tapi bapak hanya sebatas menyaksikan saja tak ikut andil dalam mengobati.
“kita harus melakukan upacara “ngajemput lelembut”. Kata bapak kepada mas asep.
istilah “ngajemput lelembut” ini kalau dalam bahasa indonesia bisa diartikan menjemput nyawa. Menurut bapak Dahulu kala Konon upacara ini sering dilakukan atau lumrah dikampung. Karena dulu saat kampung kami masih benar-benar hutan dan masih banyak tempat-tampat keramat banyak orang-orang yang tersesat atau linglung tak bisa pulang, padahal secara penglihatan lahir orang tesebut hanya tertidur, biasanya jasadnya disembunyikan si setan di semak-semak atau bahkah didahan-dahan pohon besar. Orang yang biasanya diisengi setan itu karena melanggar atau berlaku tidak sopan, seperti mengencingi sebuah pohon atau duduk diatas makan tanpa sengaja.
Akhirnya malam itu kami memutuskan untuk diam dirumah kang asep, bersama bapak-bapak yang lain tetangganya kami berbincang seru, seakan melupakan kejadian mengerikan yang baru saja terjadi. Saya ikut nimbrung tapi tidak ikut mengobrol, hanya menikmati kopi dan kacang rebus yang disediakan mertua kang Asep.
Hingga akhirnya “tahrim” berkumandang. Tahrim itu kalau dikampung saya adalah istilah untuk membangunkan orang untuk sholat subuh, jadi biasanya seseorang datang ke masjid dan membaca alquran melalu speaker, hal itu dilakukan sampai tiba waktunya adzan subuh. Dikampung saya biasanya tahrim dimulai dari jam setengah empat pagi.
Saya dan bapak berpamitan untuk pulang, memburu untuk sholat subuh dirumah. Tapi sebelum pulang bapak berpesan dengan suara pelan agar mas asep mengorek-ngorek halaman depan atau belakang rumahnya untuk mencari benda-benda aneh yang mungkin saja ditanam oleh seseorang.
Sepulang dari rumah kang Asep, saya tidur kebablasan, jam setengah 1 siang baru bangun. Dan ketika hendak ke kamar mandi saya melihat bapak sedang membersihkan “parabot”. Istilah “parabot” ini adalah sebutan untuk benda-benda pusaka peninggalan nenek moyang dikampung saya. Kebetulan bapak punya warisan sebuah kujang dan pedang kecil lebih mirip golok sebenarnya yang dikasih dari kakek saya dulu, konon benda-benda pusaka ini harus dibawa saat upacara nyambut lelembut, katanya jaga-jaga kalau ada setan yang bengal hendak menyerang.
Saya yang tidak ada kerjaan, kemudian hendak membantu bapak untuk membersihkannya. Tapi bapak membentak saya ketika saya mau memegang kujang. Katanya tidak sembarang orang bisa membersihkannya. Benda-benda pusaka ini hanya boleh dicuci saat bulan mulud saja dan satu lagi ketika hendak dipakai. Itupun saat dicuci dengan ritual atau mungkin bacaan tertentu, telihat bapak membersihkannya tidak digosok dengan sikat atau dicelupkannya kedalam air, tapi dibersihkan dengan jeruk nipis pelan-pelan.
Takutnya ada yang salah paham, memandikan benda pusaka bukan berarti menyembah atau mengagungkannya. Apa yang dilakukan bapak hanya sekedar menghormati, semoga tidak ada orang yang menganggap bahwa perbuatan ini termasuk syirik atau menyekutukan tuhan.
Setelah selesai membersihkan pusakanya, kemudian bapak menyiapkan perlatan lain untuk melakukan upacara nyambut lelembut, yaitu kain batik bermotif merak, menurut kepercayaan disini merak bisa digambarkan sebagai makhluk penuntun kita dari alam gaib. Satu liter beras yang menyimbolkan hasil bumi, untuk membedakan dunia nyata dan gaib. sebutir telor ayam kampung yang menyimbolkan kelahiran, awal kehidupan yang baru.
Rencananya nyambut lelembut akan dilakukan setelah sholat isya, jadi nanti malam bapak akan kerumah kang Asep lagi, saya yang awalnya tidak mau ikut karena takut terjadi hal-hal aneh lagi dijalan tapi tak tega melihat bapak pergi sendirian. Jadi saya memutuskan untuk ikut lagi, dan berharap kali ini semua normal-normal saja.
Setelah melaksanakan sholat magrib, sekitar jam setengah tujuhan, kang Asep datang kerumah. Mungkin maksudnya untuk menjemput bapak, tapi bapak tidak mau berangkat sebelum adzan isya tiba, saya tidak tahu apa maksudnya. Akhirnya kang Asep menunggu sambil berbincang bersama ibu dan saya diruang tamu, sementara bapak masih sibuk menyiapkan barang-barang tadi siang yang hendak dibawa.
Setelah adzan berkumandang dan menunaikan sholat isya, bapak menghampiri kami diruang tamu. Dia duduk sambil menyalakan sebatang roko, sumpah baru kali ini saya melihat bapak meroko. Karena setahu saya bapak bukan seorang peroko. Dan yang bikin saya heran lagi roko yang dihisap bapak adalah roko lama merek sriwidari, sekedar info roko merek sriwidari ini biasanya bagian dari persembahan ketika upacara adat.
Seakan mengerti dengan tatapan bapak, kang Asep kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah benda yang dibungkus pelastik bening. Sebuah bungkusan kain putih yang berbentuk pocong kecil, ukurannya kira-kira sebesar lilin.
“ini ditemukan di pojok rumah saya pak, dikubur dibawah batu, saya curiga karena seinget saya tak pernah menaruh batu dihalaman.” Kata kang asep kepada bapak.
“buka sep,” perintah bapak.
Kemudian kang asep membuka bungkusan pocong itu, didalamnya terdapat “harupat”. Harupat itu bentuknya seperti lidi namun berwarna hitam. Harupat adalah bagian dari batang pohon aren. Juga sebundel rambut kusut, dan sebotol cairan merah yang saya tak tahu apa namanya tapi yang pasti itu bukan darah. warnah merahnya bening, tampak seperti minyak angin Cuma tidak berbau saja.
“orang ini niat banget pengen celakain kamu, hanya orang yang benar-benar sakit hati yang melakukan ini sep.” ucap bapak, kemudian ia menghisap rokonya dalam-dalam tampak sangat menikmati sekali.
“saya udah inget-inget, tapi perasaan saya tidak pernah berurusan serius sama orang pa.” entah benar atau bohong yang diucapkan kang Asep, walaupun secara logika tidak mungkin orang menyerang tanpa sebab kecuali orang gila, dan orang gila tidak mungkin isengnya sampai seniat ini pikir saya.
“yaudah ga usah dinget-inget, nanti tambah mumet. Yang penting sekarang istrimu bisa pulih lagi.” Jawab bapak santai
Bapak mematikan rokonya yang tinggal setengah, lalu ia mengambil bungkusan pocong yang sejak tadi tergeletak dimeja. Mulutnya komat-kamit seperti biasa melafalkan doa, kemudian ditiupkan pada bungkusan pocong ditangannya. Setelah selesai bapak meletakannya kembali diatas meja sembari menyuruh ibu untuk mengambil sebuah rantang.
“bakar sep” perintah bapak.
Setelah rantang dibawa sama ibu, dibakarlah pocongan itu oleh kang Asep yang kemudian abunya dimasukan kedalam rantang. Tidak memerlukan minyak tanah karena benda-benda itu mudah sekali terbakar, khusunya rambut dan harupat.
“ini rantangnya kamu bawa, abunya kamu bungkus dengan kain. Dan besok pagi-pagi kamu hanyutkan di kali.” Perintah bapak kepada kang Asep.
Setelah selesai membakar pocongan, kami bersiap-siap untuk berangkat. Seperti biasa ibu pamitan mau menginap lagi dirumah mba waryah dengan membawa kedua adik saya. Kang Asep membawa peralatan dalam ransel dengan motornya, sedangkan saya dan bapak mengikuti dari belakang. Kali ini saya sedikit tenang karena kita berangkat jam setengah delapan malam, dimana jalanan mungkin masih ada orang lalu lalang. Khusunya tukang ojeg yang pulang kemaleman dari pangkalan pasar.
Setelah sampai, ternyata dirumah kang Asep udah ada beberapa orang tetangganya yang sedang menjenguk. Tapi begitu kami datang mereka berpamitan pulang, seperti mengerti mereka tak mau mengganggu privasi. Sementara teh Ratih tampak tenang diranjang, walaupun masih setengah sadar. Menurut kang Asep semenjak dari kemarin teh Ratih belum kumat lagi, dia udah mulai tidur tidak seperti sebelum-sebelumnya.
“sekarang aja pa dimulai ?” pinta kang Asep kepada bapak.
Bapak langsung bergerak membuka isi ranselnya, menyiapkan beras yang kemudian dituangkan kedalam mangkok. Sebutir telur ditaruh diatas beras, sedangkan kujang diletakan berdampingan. bapak menyuruh kang Asep agar teh ratih dibopong keruang tengah.
Digelarlah tikar, teh ratih tidur terlentang diatasnya tanpa bantal, setelah bapak menyiprat-nyipratkan air keseluruh tubuh teh Ratih, kemudian tubuhnya ditutupi kain batik bermotif merak yang sudah bapak bawa. Kini teh Ratih terlentang seperti mayat ditutupi kain, tapi anehnya kali ini dia tidak melawan, malah pasrah saja seperti orang kebingungan. Bapak menyuruh kami yang berada disitu untuk membaca ayat kursi berulang-ulang. Katanya untuk menjaga tubuhnya agar tak dimasukin setan sembarangan, selama bapak pergi untuk menyusul teh Ratih kealam gaib.
Bapak bersila sambil memejamkan mata, mulutnya komat-kamit seperti biasa melafalkan doa. Sedangkan saya, kang Asep beserta mertua dan adik iparnya membaca ayat kursi tak henti-henti. Mungkin sekitar setengah jam man tidak ada perubahan berarti kami masih tetap seperti ini, hingga akhirnya tubuh teh Ratih yang tertutup kain batik itu menggelapar-gelepar seperti ikan didaratan.
Bulu kuduk saya merinding ketika menyaksikan kejadian tersebut, kami yang berada dibelakang bapak saling menatap kebingungan. Kang Asep hendak menghampiri istrinya yang masih menggelepar, tapi saya menahan. Saya mengingatkan mungkin sebaiknya kita tidak melakukan apa-apa dulu sebelum mendengar perintah selanjutnya dari Bapak. Maka kamipun melanjutkan membaca ayat kursi seperti yang diperintahkan tadi.
Tidak begitu lama sekitar dua puluh menitan, tiba-tiba tubuh teh Ratih bangun, dia menarik nafas panjang seperti seseorang yang baru saja tenggelam didalam air. Sontak kami semua loncat karena kaget, terutama mertua kang Asep yang sudah tua mengucapkan istigfar beberapa kali sambil mengelus dadanya.
“kang ?” begitu sadar teh Ratih langsung memanggil suaminya. Kemudian ia bangun dan memeluk ibunya yang masih merasa kaget. Kedua wanita itu saling berpelukan sambil menangis.
Setelah semuanya kondusif, dan teh Ratih terasadar, kami duduk diruang tengah, kang asep yang mungkin penasaran bertanya kepada istrinnya apa yang terjadi selama ia sakit. Maka teh Ratih mulai menceritakan pengalaman horronya kepada kami.
Menurut teh ratih kejadian itu berawal disatu hari sebelum ia sakit, waktu itu jam 11 malam ia masih ingat karena saat menonton tv dan merasa ngantuk. maka setelah melihat jam ia memutuskan untuk tidur. Teh ratih sendirian dirumah karena kang Asep sedang mengantar nanas pesenan ke daerah purwakarta waktu itu.
Ketika teh Ratih baru beberapa menit menutup mata, terdengar suara ketukan dipintu. Kemudian ia bangun dan membuka pintu, terlihat dua orang pria berdiri didepannya. Yang satu menggunakan kaos oblong, dan yang satu lagi mengenakan jaket kulit. Dengan nada terburu-buru pria yang mengenakan jaket memberitahu bahwa kang Asep kecelakaan, dan dipastikan tewas. Jasadnya sekarang berada dirumah sakit.
Teh Ratih yang mendengar kabar tersebut, merasa kaget. Ingatannya mungkin berada pada titik sadar dan tidak sadar. Lututnya merasa lemas dan ingin pingsan, bahkan ia menangis berteriak-teriak, kedua pria itu mencoba menenangkan teh Ratih. Menurut teh Ratih kalau dipikir sekarang tidak masuk akal katanya, waktu itu ia menangis cukup kencang sambil beteriak-teriak memanggil kang Asep tapi anehnya tak ada satu tetanggapun yang datang.
Setelah teh ratih merasa tenang, kedua pria itu menyuruhnya untuk bersiap-siap pergi kerumah sakit. Teh Ratih mengikuti saja semua perintahnya mungkin karena dia sudah merasa syok duluan mendengar suaminya meninggal. Dan ketika bapak bertanya bagiamana dia pergi kerumah sakit bersama kedua orang tua itu, teh ratih mencoba berpikir dan mengingat-ngingat.
“naik delman pak. Astagfirulloh saya baru ingat.” Jawab teh Ratih yang kemudian mukanya berubah menjadi ketakutan.
Kalau dipikir secara logika tak mungkin pergi kerumah sakit menggunakan delman. Bagi yang belum tahu delman itu adalah kereta kuda, atau didaerah lain disebutnya andong. Mungkin tak sadar karena selama perjalanan teh Ratih menangis, hingga akhirnya ia berhenti ditengah jalan. Kedua pria itu ijin untuk pergi buang kecil.
Tapi cukup lama pergi, kedua pria itu belum juga datang. Teh ratih yang daritadi merasa sedih hingga menghiraukan sekitar, kini ia mulai tersadar. Ia mulai merasa takut, bahkan ketika menengok kiri dan kanan ia merasa awam, jalanannya bukan jalanan seperti yang biasa ia lewati. Dan baru tersadar bahwa ia berada ditengah hutan.
Bayangkan ditengah hutan sendirian, duduk diatas andong hanya ditemani lampu kelenting yang tergantung didepan. Bahkan kuda yang tadi mengangkut andongnya juga mendadak hilang. teh Ratih tak bisa berbuat apa-apa ketika dia ia ditinggalkan kecuali menangis sendirian. Teh Ratih mencoba turun sambil memanggil-manggil kedua pria tadi, tapi nihil tidak ada jawaban.
Lalu apa yang terjadi pada Ratih?
Simak lanjutan kisahnya di fanpage Klinik Pendekar Langit
Wallaahu A'lam
Pendekar Langit
Sumber kisah dari aplikasi google playstore dan dari blog
Demikian Kisah Nyata Santet, Penculikan Sukma oleh Jin Sihir bagian 1, semoga bermanfaat. Share artikel Kisah Nyata Santet, Penculikan Sukma oleh Jin Sihir ini ke teman anda ya?
Semoga bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar