Reminder: Blog ini berisi iklan pihak ke 3, yang tidak terkait dengan konten

Kisah Nyata Santet, Balas Dendam Arwah Gentayangan

Berikut ini ada kisah nyata serem yang cocok untuk anda penggemar cerpen bergenre horor. Namun ini bukan cerpen ini kisah nyata horor dan penuh dengan hikmah. Langsung saja simak dan baca sambil ngopi Kisah Nyata Santet, Balas Dendam Arwah Gentayangan.


Kisah Nyata Santet, Balas Dendam Arwah Gentayangan

Saya membuat judul Kisah Nyata Santet, Balas Dendam Arwah Gentayangan sebenarnya bukan judul yang sebenarnya. Biar terkesan lebih seram.. hehe. Judul aslinya adalah santet yang saya copas dari sumber kisah di aplikasi playstore dan juga dari kaskus.

Langsung tanpa babibu simak kisahnya

-----------------------------------

S A N T E T 

Part.1 from 3

Baca pelan pelan. Ikuti alur cerita nya. Ceritanya panjang, seru dan tentunya hororr :) 

----------------------------

Saya tinggal didaerah subang, nama kampungnya saya samarkan saja ya..demi kebaikan bersama. Sedangkan saya sekarang berada dikota bandung sedang menimba ilmu disalah satu universitas. Pengalaman yang saya lihat tentang kasus ini satu bulan sebelum bulan puasa kemarin, lebih tepatnya saat saya libur setelah UTS saya pulang ke rumah untuk liburan.. bapak saya adalah seorang petani dan pedagang sekaligus profesi sampingannya yaitu membantu orang, saya tak tahu harus mendifinisikan apa untuk bagian membatu orang ini. 

Jadi begini didesa saya ini kebudayaan hindu masih kental, sekalipun islam adalah agama resmi penduduknya tapi tradisi hindu lama tak bisa dilepaskan, seperti membakar kemenyan saat jarah ke makam, atau melakukan upacara-upacara adat dikampung seperti ruatan bumi dan sebagainya, saya tak tahu apa ini tradisi hindu atau hanya adat istiadat setempat yang pasti kebiasaan itu masih betahan sampai sekarang.

Bapak saya belum terlalu tua, umurnya baru 45 tahun, bisa dibilang masih muda, bapak saya adalah orang yang selalu dimintai untuk mendoakan kemenyan saat mau jarah ke makam atau mendoakan air untuk orang yang sakit. Mungkin bisa dibilang orang pintar atau dukun, tapi saya menolak dibilang dukun, karena bapak saya tidak membuka praktek, beliau hanya mencoba membantu orang-orang sekitar dengan ilmu kebatinan dan tidak memungut bayaran, sekalipun ada saja orang yang berterima kasih dengan imbalan uang dengan nominal paling besar 20 ribu rupiah, saya tahu karena saya sering melihatnya kalau sedang dirumah. Tidak melakukan ritual yang aneh-aneh, bila ada orang sakit biasanya bapak hanya memberikan air putih dalam botol aqua yang sudah dilafalkan doa-doa.

Bapak saya belajar doa-doa dan semua ilmu kebatinannya dari kakek saya, dulu sewaktu kakek saya masih hidup dia adalah sesepuh kampung sekaligus seorang “syeh mayit”. Saya tak tahu apa sebutan nasionalnya atau nama di daerah lain julukan untuk seseorang yang berprofesi untuk mengurusi mayat mulai dari memandikan menyolatkan sampai menguburkan. Tapi dikampung saya orang yang bertugas untuk mengurus mayat disebut “syeh mayit”.

Disini untuk pertama kalinya pengalaman teraneh yang pernah saya alami dimulai. Berawal dari kedatangan seorang pemuda usianya sekitar 25 atau 27 tahunlah sekitar segitu dari kampung sebelah kerumah saya. Namanya maaf saya samarkan yah demi kebaikan bersama, kita anggap saja namanya asep. Kang asep ini datang kerumah ba’da isya, saya masih ingat karena waktu itu sedang asyik nonton tv dan kemudian ibu saya teriak-teriak nyuruh sholat.

Kang asep datang kerumah bilang karena istrinya sedang sakit, dia membawa botol mineral ukuran satu liter, saya yang sedang asyik menonton tv diruang tengah mendengar percakapan antara bapak dan Kang asep kurang lebih seperti ini (percakapan ini dalam bahasa sunda namun saya translatekan kebahasa indonesia agar semuanya bisa paham) :

Kang Asep : “istri saya sudah seminggu sakit pa

Bapak : “kenapa tidak dibawa ke mantri di puskesmas, memangnya sakit apa ? ” 

Kang Asep : “lemas, ga bisa bangun. Kata pa mantri ini sakit demam aja, tapi obat sudah habis masih tetep aja, besok mau dibawa kerumah sakit rencananya pak. Tapi sebelumnya saya mau minta tolong. Takutnya ini ada apa-apa gitu”.

Bapak : “apa-apa, apa ? ” bapak saya memang suka bercanda.

Dikampung saya setiap kali ada orang yang sakit, selalu dikaitkan dengan hal-hal mistis.maka tak heran orang-orang lebih memilih membawa kerabat atau keluarganya yang sakit untuk berobat ke orang pintar daripada ke dokter. Tak heran sih, soalnya biaya pengobatan alternatif dinilai lebih murah daripada harus dibawa kerumah sakit.

Bapak yang mendengar penjelasan Mas Asep lalu meminta sebotol air mineral yang telah dibawa, kemudian bapak memejamkan mata dan merafalkan doa-doa. Saya yang awalnya tidak tertarik kemudian beralih ke ruang tamu bersama ibu. Sementara bapak masih sibuk dengan meditasinya, saya dan ibu mencoba berbincang dengan Mas Asep mulai dari menanyakan keadaan istrinya hingga akhirnya obrolan ngaler-ngidul yang tak juntrung tujuannya.

Ketika sedang asik-asiknya kami berbincang bapak terperanjat kaget yang hampir saja menjatuhkan air dalam botol yang sedang dipegangnya. Sontak kami semua kaget melihat reaksi bapak yang tiba-tiba.

“kenapa pak ?” kang Asep yang posisinya berada didekat bapak replek bertanya.

“engga, ini kirain kecoa dibawah.” Jawab bapak dengan bercanda seperti biasa.

Namun saat mas asep sudah keluar dari rumah kami, bapak berkata pada ibu dengan mimik muka serius “kasian istri si asep. Semoga tidak apa-apa.” Sejak ucapan bapak hari itu saya curiga ada yang tidak beres dengan istrinya kang asep.

Benar saja, setelah tidak ada kabar selama bulan puasa, kang asep datang kerumah 2 hari setelah lebaran. Dia bilang istrinya malah tambah parah. Istrinya sekarang malah seperti orang ayan. Kalau dulu Cuma lemas, sekarang dia seperti orang gila. Kadang tertawa-tawa sendiri kadang menangis. Bahkan yang lebih parah kata kang Asep kalau sedang mengamuk, istrinya bisa marah-marah tak jelas membuat kegaduhan dengan melempar barang-barang dan teriak-teriak.

AAAAA



Sekedar info Kang Asep ini orang yang cukup berada, dia adalah bandar nanas. Orang yang suka beli nanas dari petani terus ia jual ke pasar. Oh iya dan nama istri kang Asep ini saya samarkan juga yah takutnya ada keluarganya yang membaca, kan saya jadi ga enak membeberkan rahasia orang lain hehe.. sebut saja nama istrinya Teh Ratih. Kata kang Asep selama bulan puasa kemarin dia dibuat kerepotan, usahanya terbengkalai, maklum dia bandar kecil jadi segala sesuatu diurusnya sendiri tanpa karyawan. Uang tabungannya juga menipis karena harus bolak-balik ke rumah sakit. Begitu ucapnya kepada bapak.

Gejala yang aneh dimulai ketika istri kang Asep dirawat dirumah sakit. Kata kang Asep waktu itu jam 1 malam sedang menjaga istrinya dikamar rumah sakit dia merasa lapar. Tanpa pikir panjang karena melihat teh Ratih sudah tertidur lelap dia keluar untuk mencari makan, karena didepan rumah sakit ramai oleh pedagang yang menjajakan dagangannya.

Pas selesai makan kang Asep balik lagi ke kamar, Teh Ratih sudah ga ada diranjangnya. Awalnya dia ga merasa aneh atau curiga karena mungkin sedang ke kamar mandi yang letaknya emang berada diluar kamar, maklum walaupun kang asep ini orang yang cukup berada tapi hanya mampu untuk menyewa kamar kelas 3 yang minim fasilitas dan isi pasiennya bisa sampe 6 orang.

Lima belas menit berlalu teh Ratih belum juga datang, maka Kang asep berinisiatif buat melihat ke kamar mandi. Ketika sampai didepan kamar mandi dia mengetuk pintu sambil memanggil-manggil nama istrinya. Namun ternyata pintunya tidak dikunci, kang Asep kaget bukan kepalang ketika melihat istrinya sedang jongkok seperti anjing dan menjilati air WC, dia muntah sejadi-jadinya melihat kelakuan istrinya yang diluar nalar itu. Wajah teh Ratih pucat, mata melotot sempurna, lidahnya melet-melet persis seperti anjing. Begitu ucap kang Asep kepada bapak sore itu.

mendengar cerita kang asep tentang istrinya membuat bulu kuduk saya merinding dan juga merasa mual. Apalagi ibu yang tak kuat dan langsung pergi ke kamar mandi. Sejak melihat kejadian itu kang Asep merasa yakin bahwa istrinya bukan sakit biasa, bukan sakit secara lahiriah. Maka dibawa pulanglah teh Ratih kerumah.

Saya yang setelah cukup lama tinggal dibandung bisa dibilang bergelut dengan dunia moderenisasi tidak kepikiran waktu itu bahwa teh Ratih diguna-guna, keimanan saya pada hal-hal mistis sedikit demi sedikit telah luntur. Lagian guna-guna atau santet setahu saya yang sering lihat ditv biasanya Cuma sakit perut, muntah darah atau muntah paku. Hingga akhirnya bapak berkata bahwa istri kang Asep ini ada yang ganggu.

“saya juga udah yakin pa, tapi siapa orangnnya koq sampe tega. Perasaan saya tak pernah bertengkar sama orang atau nyakitin hati orang.” Ujar mas asep kepada bapak dengan raut wajah penuh tanya.

“saya tidak tahu.” Bapak tak menjawab rasa penasaran kang Asep.

Saya tidak tahu apakah bapak benar-benar tidak tahu atau hanya menjaga situasi agar tetap kondusif. Maklum masalah gaib-pergaiban itukan susah untuk dibuktikan secara kasat mata, walaupun kita sudah tahu siapa pelakunya tapi tanpa bukti yang jelas takutnya dibilang fitnah. Mungkin bapak menjaga agar kang Asep tidak bertindak sembrono.

“saya harus gimana ? mohon bantuannya lah pak ?”

“Saya juga ga terlalu paham sep, masalah beginian. Biasanya bapak Cuma ngusir orang yang ditempelin jurig jarian saja (jurig jarian itu istilah untuk setan kelas bawah yang biasanya diam ditempat-tempat seram, seperti pohon beringin dan sebagainya) tapi insyaalloh bapak coba bantu sebisa mungkin”. Mendengar permintaan kang Asep, bapak tampak kebingungan.

Tidak seperti biasanya kali ini bapak tak meberikan air yang sudah di doakan, mungkin beda perkara. Bapak hanya menyuruh kang asep pulang dan memberikan semacam hafalan atau doa khusus yang telah ditulis bapak dalam kertas, katanya untuk diamalkan sehabis sholat isya.

Sebelum pamitan kang Asep meminta nomer handphone bapak, jaga-jaga untuk keadaan darurat katanya. Walaupun desa saya terpencil dan listriknya masih belum stabil karena sering mati lampu, tapi semua penduduknya udah punya handphone walaupun masih tipe-tipe nokia jadul hehe.. 

Setelah kedatangan kang Asep untuk yang kedua kalinya bapak jadi sering bangun malam untuk wirid. Saya biasanya kebangun karena mendengar suara cipratan air ketika bapak berwudhu dikamar mandi.

Setelah dua hari, tepat jam 8 malam kang Asep nelpon. Kami yang sedang asyik berkumpul diruang tengah, ibu, saya dan kedua adik perempuan saya jadi ikut gelisah melihat bapak mondar-mandir sambil menelpon.

“kenapa pak ?” tanya ibu.

“ini si asep, katanya istrinya kumat lagi. Jang ayo anter bapa kerumah si asep.” setelah menutup telponnya mengajaku untuk mengantarnya. Jang itu kependekan dari ujang, sebuah panggilan sayang orang sunda terhadap anaknya kalau untuk cewe biasanya neng.

Dengan terpaksa mata saya yang sudah mengantuk sebenarnya, mengantar bapak karena tidak mau disebut anak durhaka.

Saya dan bapak berangkat jam 9. Molor satu jam semenjak kang Asep menelpon karena menunggu bapak dikamar entah sedang ritual apa, mungkin sedang melafalkan doa-doa.

Dikampung saya jam 9 malam itu udah setara dengan jam 12 malam, karena seisi kampung sudah pada tidur. Tidak ada tempat hiburan, tidak ada pedagang dan tidak ada hingar bingar lampu jalanan seperti saat saya dibandung. Setelah ba’da isya biasanya sudah jarang orang yang keluar rumah, kalaupun ada hanya bila ada keperluan saja itupun beberapa orang. Para pemuda-pemudi pun hanya keluar atau main malam pas ada hajatan saja, seperti dangdut, wayang golek atau layar tancep. Mereka lebih memilih diam dirumah dan nonton tv. Kecuali bapak-bapak yang kebagian buat ronda, sekalipun sekarang ronda sudah jarang aktif lagi, paling banter siskamling diaktifkan lagi kalau sedang musim pencurian saja.

Saya mengeluarkan motor bebek, motor lama kesayangan bapak yang hobinya ngadat kalau kehujanan. Honda astrea legenda peninggalan jaman muda bapak yang masih tersisa. Ibu meminta ijin kepada bapak untuk ikut tidur dirumah tetangga mba waryah seorang janda, entah kenapa suasana rumah menjadi mencekam setelah mendapat telpon dari kang Asep. Ibu saya memang seorang penakut.

Sekedar info jarak antara kampung saya dengan kampungnya kang Asep itu sekitar 8 kilometer, kampung kami dipisahkan oleh perkebunan teh. Melewati jalan besar yang jelek maklum jalan-jalan diperkampungan jarang diperhatikan mengingat mungkin pemerintah menganggap bukan jalan utama yang terlalu ramai.

Sayangnnya kebun teh untuk bagian dalam atau dipelosok tidak seindah perkebunan teh dipinggir jalan raya. Seperti di ciater misalnya yang pemandangan kebun tehnya begitu indah karena seperti savana hijau. kebun teh bagian dalamnya, khusunya yang menghubungkan kampung kami ini ditanami pohon mahoni, sempur, dan berbagai jenis pohon lainnya. Memang teduh kalau pada siang hari, tapi kalau pada malam hari terasa horor melihat pohon-pohon besar itu berdiri.

Saya menyalakan motor dan membonceng Bapak, dengan bismilah kami berdua berangkat menuju rumah kang Asep. Walaupun kami masih melewati jalanan kampung tapi suasana sepi begitu menyelimuti, maklum didesa saya jarak antar rumah kerumah lumayan renggang tidak seperti dikota yang padat dan saling menempel antara tetangga. Tidak ada seorangpun yang kami temui dijalan, mungkin karena sudah larut dan orang-orang sudah terlelap dalam mimpinya.

“bapak memang sudah tahu rumahnya kang Asep ?” aku membuka obrolan untuk mengusir dinginnya malam, entah kenapa malam ini angin begitu kencang sehingga rasa dingin seperti menusuk tulang.

“nanti dia nunggu di pinggir jalan katanya.”

Setelah melewati jalan perkampungan, kemudian kami akan melewati perkebunan warga, yang didominasi oleh kebun nanas. Buah nanas memang menjadi komiditi disini, kalian pasti sudah tahu bahwa kota subang memang penghasil nanas.

Disetiap kebun nanas warga selalu menanam pohon bambu, karena pohon bambu sangat berguna disini selain bisa dibuat untuk pagar, tiang, dan anyaman. Bambu mudanya juga bisa dimakan. Bayangkan pemandangan pohon-pohon bambu yang menjulang tinggi dimalam hari. Belum lagi ketika tertiup angin, pohon bambu ini akan bergoyang dan menghasilkan bunyi karena saling bergesekan. Tidak ketinggalan bunyi dari daunnya yang melambai-lambai seperti tangan dikegelapan. Belum lagi mitos didesa kami bahwa pohon bambu biasanya menjadi sarang atau tempat makhluk halus bersemayam.

Saya membawa motor dengan pelan, untuk menghindari jalanan yang berlubang. Tidak ada lampu jalan yang menerangi kami, hanya sebatas lampu depan motor yang menjadi petunjuk didepan. Keadaan benar-benar gelap, karena langit tampaknya mendung mau hujan karena tidak terlihat satu bintangpun.

Konstrentasi saya terpecah antara membawa motor dan perasaan takut yang yang tiba-tiba saja menyelimuti. Belum lagi dinginnya angin malam yang membuat wajah saya terasa kaku. Ketika sedang merasa takut pasti pernah merasakan bahwa kita selalu merasa sedang diikuti, perasaan untuk menengok kebelakang atau ke samping selalu saja menggoda kita. Pandangan didepan pun tak kalah horror karena gelap gulita, perasaan was-was kalau tiba-tiba saja lampu motor menyorot sesuatu yang mengerikan selalu menghantui.

Ngomong-ngomong soal menengok kebelakang. Mitos dikampung saya atau didaerah lain juga sama ? konon katanya kalau kita sedang jalan sendirian ditempat yang sepi, ketika takut dan merasa diikuti selalu saja tiba-tiba kita ingin menengok kebelakang. Jangan pernah menengok kebelakang karena katanya menengok kebelakang sama dengan lambaian tangan untuk si hantu. Dia akan merasa diajak atau dipanggil sehingga akan mengikuti kita.

Setelah melewati jalan yang diapit kebun nanas, masuklah kita kejalan utama. Maksudnya jalan yang cukup besar dan kalau siang hari menjadi tempat lalu lalang kendaraan warga. Tapi sayangnnya ini malam hari jadi keadaan sepi.

Kebun teh yang pada siang hari terlihat adem dengan pohon rindangnya, dimalam hari begitu menyeramkan, terdengar suara gemuruh ketika daun dan dahan saling bergesekan karena angin. Lengkap dengan suara jangkrik. Ingin rasanya saya menarik pedal gas hingga kecepatan maksimal, tapi sayang kondisi jalan yang jelek tidak memungkinkan.

“baca ayat kursi jang.” bisik bapak saya tiba-tiba.

Mendengar perintah bapak saya merasa panik, maksud hati ingin bertanya alasannya tapi saya lebih memilih diam saja. saya hanya menebak mungkin karena kita melewati sebuah tanjakan. Dikampung saya ini ada sebuah tanjakan, hanya terkenal disekitaran kampung saja, katanya dulu kata bapak saat saya masih kecil, tepat dipinggir tanjakan ada sebuah pohon mahoni besar tempat dimana dulu ada orang gantung diri.

Tanjakan ini juga biasanya menjadi tempat para begal bersembunyi untuk merampok korbannya. Beberapa kali pernah terjadi kasus begal dan tkpnya selalu disini. Mungkin si perampok ingin memanfaatkan keadaan panik dari pengendara.

Setelah melewati tanjakan itu, disamping kami ada suara krasak-krusuk. Saya mengira itu hanya suara musang yang lewat atau mencari makan. Tapi suara itu seperti mengikuti kami, saya yang gemetar dan ingin menengok kesamping ditepuk oleh bapak dan menyuruh untuk melanjutkan dan jangan berhenti.

Saat sedang menyetir dengan perasaan deg-deggan samar-samar didepan terlihat sepasang mata. Bersinar tampak kontras ditengah kegelapan. Seketika saya menginjak rem, bapak merasa kaget karena saya berhenti tiba-tiba.

“kenapa jang ?”

“itu didepan apa ?” jawab saya pelan sambil menunjuk kedepan.

“astagfirruloh, kita dihalangi agar jangan datang kerumah si Asep”. Jawab bapak pelan.

Tidak terlihat jelas, hanya samar-samar terlihat mata itu ditengah jalan. Tapi mata itu posisinya berada dibawah, seperti sedang berjongkok. Saya mengira itu musang tadi yang mengikuti kami. Saya tidak mengerti ucapan bapak yang katanya jalan kita dihalangi. 

“gimana pak ?”

Bapak lalu turun dari motor, waktu itu saya kepikiran jangan-jangan begal. Lalu bapak teriak-teriak manggil “saha didinya-saha didinya ?” (siapa disana ?). saya menyarankan untuk putar balik buat pulang tapi bapak membentak saya.

Karena teriakan bapak tak kunjung ada jawaban, dan kedua sinar mata itu ga juga pergi. Maka bapak memutuskan untuk mengambil batu segede kepala tangan, dilemparlah batu itu kedepan. Mata itu tidak juga pergi, malah anteng aja didepan seperti menatap kami. Karena mungkin bapak merasa kesal bapak menyuruh saya untuk jalan pelan-pelan. Awalnya saya menolak karena ketakutan, tapi bapak memutuskan untuk jalan duluan diikuti saya dari belakang. Lampu motor disenter jarak jauh buat mastiin apa yang ada didepan itu. Saya dan bapak jalan dengan pelan.

AAAAA



Begitu lampu motor perlahan menyorot cahaya mata itu, kaget bukan kepalang sampe saya tak sengaja menekan klakson. Seekor anj1ng hitam berdiri persis ditengah jalan. Tubuhnya seukuran anj1ng normal, tapi bulunya hitam legam, matanya berwarna hijau. dengan lidah terjulur keluar anj1ng itu menatap kami berdua.

Seketika bulu kuduk saya merinding, tentu saja ini bukan anj1ng biasa. Walaupun dikampung saya ada yang punya anjing, saya yakin tak pernah melihat anj1ng dengan warna hitam, jadi bisa dipastikan ini bukan anj1ng milik warga. Bapak mengusir dengan melambai-lambaikan tangan sambil bilang huss..huss. tapi anj1ng itu tak terusik sedikitpun.

Mungkin karena bapak kesal karena si anj1ng tak mau juga pergi, maka bapak menyuruh saya untuk jalan saja. lagian anj1ng itu berdiri ditengah jalan, mungkin kita bisa jalan dipinggir saja mengingat ini jalanan lebar. Tapi saya tak berani, menolak permintaan bapak. Entah kenapa walaupun itu seekor anj1ng dan saya sering melihat anj1ng tapi perasaan takut tak bisa dibohongi mungkin karena melihat kelakuan anj1ng yang seperti itu pada malam hari terasa tidak wajar. Maka bapak memutuskan untuk membonceng saya dibelakang.

Baru saja kita berjalan sebentar anj1ng itu berdiri sigap. Matanya yang tadi polos bulat kini menyipit menatap kami, menunjukan gigi runcingnya seperti hendak menerkam. Karena kaget bapak menginjak rem, waktu itu saya benar-benar ketakutan setengah mati sampai tanpa disadari memeluk pinggang bapak kuat-kuat.

Si anj1ng menggong-gong keras kearah kami. Bayangkan suara gonggongan anj1ng malam-malam ditengah kebun teh yang gelap gulita. Suara itu membahana dan menimbulkan gema, saya komat-kamit membaca ayat kursi, entah bacaan saya benar atau salah saya tak ingat lagi karena saking paniknya. Tapi bapak malah menatap anj1ng itu seolah sedang menantangnya, tapi kayanya bapak deg-degan juga, soalnya waktu saya ketakutan dan meluk pinggang bapak terasa jantungnya berdetak dengan kecang didada.

Anj1ng itu tampaknya menyuruh kami untuk pulang, seakan-akan menghalangi kami untuk datang kerumah kang Asep. saya tak berani melihat kearah anj1ng itu, tapi sesekali mengintip dari pundak bapak, anj1ng itu tampak geram seperti ingin menyerang kami. Saya terus melafalkan ayat kursi kali ini dengan suara keras karena saking takutnya.

Bapak dan anj1ng itu saling bertatapan cukup lama seperti sedang melakukan perbincangan secara batin, saya hanya menduga saja tak bisa memastikan. Hingga kemudian suara handphone bapak berdering kembali, tapi bapak sepertinya tidak terusik sama sekali terus beratapan dengan anj1ng itu. Karena saya merasa gelisah dan takut mendengar suara handpone dalam kesunyian, saya memberanikan diri mengambil handphone bapak dari saku jaketnya. Ternyata Kang asep menelpon, kemudian saya mengangkatnya.

“assalamualaikum, punten pa, masih dimana yah ? “

Saya hendak menceritakan apa yang kami alami disini, siapa tahu kang Asep bisa membantu untuk menjemput kami. Tapi saya malah menjawab

“lagi dijalan kang sebentar lagi.” Kemudian saya menutup telponnya saking takutnya.

Entah berapa lama bapak dan anj1ng itu terus bertatapan, hingga anj1ng itu menggong-gong sejadi-jadinya tanpa henti. Saya menutup telinga karena tidak kuat dengan suaranya yang sangat keras. Sambil menggonggong si anj1ng mulai melangkahkan kakinya, wajahnya tetap menyeringai hendak menerkam.

Bapak yang merasa ditantang si anj1ng kemudian turun dari motor. saya yang waktu itu ketakutan mencoba menarik jaket bapak untuk menahannya, tapi bapak malah menggubris tangan saya dan terus berjalan seperti ingin meladeni tantangan si anj1ng. Tanpa diduga bapak mengeluarkan sebuah lidi dari balik jaketnya, panjangnya sekitar dari jari tengah tangan sampai siku. Mungkin bapak sudah menduga kejadian ini, dan saat tadi dirumah berlama-lama dikamarnya sedang mempersiapkan hal-hal yang mungkin akan terjadi diluar dugaannya.

Bapak mengacungkan lidi tersebut, sambil mengayun-ngayunkannya ke arah si anj1ng seperti hendak mencambuk. Anj1ng hitam itu menghentikan langkahnya, namun wajahnya tampak lebih marah. Saya yang waktu itu melihat adegan tersebut panik, takut kalau-kalau si anj1ng loncat dan menerkam muka bapak. Saya merasa heran bagaimana bisa bapak melawan seekor anj1ng yang tampak ganas dengan sebatang lidi.

Tapi rupanya ilmu saya terlalu cetek untuk memahami tingkah bapak. Setelah terus-menerus bapak mengayun-ngayunkan lidi itu, si anj1ng hitam secara perlahan mundur. Tapi wajahnya terus menyeringai, tampak air liurnya keluar menetes dengan deras dari mulutnya yang lebar. Beberapa kali si anj1ng mondar mandir ke kiri dan ke kanan tapi tatapannya tak pernah lepas dari bapak, seperti hendak mencari celah untuk menyerang.

Kali ini bapak mulai memberanikan diri meloncat kedepan hendak mecabuk si anj1ng hitam, namun dengan gesit si anj1ng mundur menghindari cambukan bapak yang kemudian berlari kebelakang. Seringai seram si anj1ng mulai hilang, tapi matanya yang bersinar hijau dikegelapan itu tetap menatap kami. seperti gagal melakukan misi si anj1ng memutuskan untuk pergi, ia masuk ke semak-semak kebun teh, yang kemudian diikutin suara gong-gongngannya beberapa kali. Kini anj1ng itu hilang ditelan kegelapan malam.

Karena saya terlanjur syok dan kaki saya gemetaran karena ketakutan, maka ketika melanjutkan perjalanan kerumah kang Asep bapaklah yang membawa motor sementara saya duduk dibelakang. Tentu saja saya duduk dibelakang dengan perasaan was-was takut kalau-kalau si anj1ng itu balik lagi dan menerkam saya dari belakang.

Tapi tidak begitu lama, dari arah depan tampak sebuah cahaya lampu bulat berwarna kuning. Ketika jarak kami mulai dekat, terlihat bahwa itu kang Asep dan seorang pria yang tidak saya kenal dibonceng dibelakangnya.

“saya menyusul, takut terjadi apa-apa. Soalnya pas tadi ditelpon katanya lagi dijalan. Takut kalau ban motornya bapak bocor.” Kata kang asep kepada bapak.

“engga, Cuma pelan aja bawa motornya, maklum jalannya jelek.” Saya heran, kenapa bapak tak menceritakan peristiwa yang baru saja kami alami. Mungkin bapak tidak mau membuat suasana semakin panik.

kami berangkat melanjutkan perjalanan, motor kang asep mengikuti kami dari belakang. Sekarang saya sedikit tenang, seandainya anjing itu datang lagi dan hendak menerkam, setidaknya masih ada orang dibalakang saya.

Akhirnya kami tiba dikampung kang asep. setelah masuk ke jalan kecil dan melewati kebun singkong sebuah rumah dengan cat putih terlihat. Kang asep membunyikan klakson, saya menduga dia ingin memberitahu bahwa itu rumahnya.

Begitu kami masuk rumah, kang Asep memperkenalkan kami dengan mertuanya, seorang wanita parubaya dan adik iparnya yang tadi ikut bersama kang asep dibonceng dibelakang. Dirumah itu Cuma mereka bertiga kata kang asep, bapak mertuanya sekitar 2 bulan yang lalu sudah meninggal. Tadi sore rumah ini sempat ramai oleh tetangganya yang ingin menjenguk,tapi sekarang sudah sepi.

Setelah minum kopi hangat sajian mertua kang asep, kami dibawa kekamar untuk melihat kondisi istrinya yang sakit. sebenarnya saya ingin duduk saja sambil menikmati kopi dan cemilan yang disajikan, namun karena rasa penasaran saya mengikuti bapak dari belakang.

Tampak Seorang wanita mengenakan daster merah motif kembang-kembang sedang duduk berbalut selimut. Rambutnya panjang tergerai, dengan kulit sawo matang. Tatapannya kosong kearah jendela, sepertinya dia tidak sadar dengan kedatangan kami. Kemudian kang Asep memperkenalkan bahwa wanita itu istrinya, teh Ratih.

“neng..neng…neng” bapak memanggil-manggil teh Ratih. 

Teh ratih tidak merespon, dia masih anteng melihat kearah jendela. Wajah teh ratih tampak pucat, lingkarang hitam disekeliling matanya tampak jelas (istilahnya mungkin mata panda) kata kang Asep istrinya itu jarang sekali tidur, kalau tidak kumat ya kerjaannya seperti itu bengong. badannya juga kurus, bahkan tulang belikat dibawah lehernyapun terlihat.

Bapak menyuruh kang asep untuk mengambil segelas air putih, setelah dibawakan bapak kemudian melafalkan doa-doa. Setelah selesai, sedikit demi sedikit air itu dicipratkan kewajah teh Ratih. namun kaget bukan main semua orang yang ada dikamar itu termasuk saya ketika melihat reaksi teh ratih saat menerima cipratan air doa dari bapak. Tangannya menyamber gelas yang sedang dipegang bapak, hingga terpental kearah tembok. Bunyi denting gelas terbentur Cumiikan telinga, hingga pecahan kacanya berhamburan kemana-mana, bahkan hampir saja mengenai mata mertua kang Asep.

Teh Ratih berubah ekpresi yang tadinya kalem dan kosong kini tampak marah. Matanya melotot sempurna, giginya menyeringai bahkan terdengar gemeletuk dari gigi yang ditekan secara berlebihan sehingga terasa ngilu bagi kita yang mendengar. Deru nafasnya semakin kencang seperti orang yang sedang menahan amarah. teh ratih menyender ketembok seakan sedang ancang-ancang untuk menyerang, jari tangannya terus mencakar–cakar tembok membuat ngilu bagi yang melihat apalagi mendengar suaranya.

“ini bukan istrimu sep” kata bapak pelan.

Baru saja bapak lengah menengok kearah kang asep, teh ratih loncak menerkam bapak. Kini leher bapak berada dalam cengkaraman teh ratih, kami yang panik melihat kejadian itu segera menarik tubuh teh ratih. Bayangkan tiga orang pria, saya, kang asep dan adik iparnya menarik tubuh seorang wanita kurus secara logika seharusnya bukan masalah. Tapi diluar dugaan kami, teh ratih masih kokoh mencekik bapak tidak goyah sedikitpun bahkan saat kami beritiga menariknya sekuat tenaga.

Ibu mertuanya yang panik, menangis sambil berlari keluar mungkin hendak mencari bantuan. Sementara kami terus berusaha melepaskan teh ratih. Muka bapak tampak merah, nafasnya tersengal-sengal tapi bibirnya tampak berkomat-kamit mungkin sedang melafalkan doa. Teh ratih medekatkan wajahnya kearah bapak hingga mulutnya hanya berjarak beberapa centimeter saja dari muka bapak, dan tanpa disangka-sangka dia berteriak sejadi-jadinya. Kami yang sedang berusaha menarik tubuh teh Ratih replek menutup telinga.

Setelah berteriak teh Ratih loncat kearah depan melepaskan cengkramannya. Kemudian istri kang asep itu jongkok menatap kami. Seperti seekor binatang, teh ratih tampak tidak peduli lagi dengan penampilannya, dasternya yang robek bagian sampingnnya karena dia bergerak lincah dan tak teratur, sehingga bagian tubuh sensitifnya terlihat kemana-mana, tapi laki-laki mana yang akan birahi ketika melihat model wanita yang sedang dalam kondisi seperti kesetanan. 

Tidak begitu lama ibu mertua kang Asep datang bersama rombongan, sekitar 8 orang dengan dua permpuan dan sisanya laki-laki. Mereka tampak keheranan menatap teh ratih didepan pintu masuk. Saat lengah itulah bapak menyentuh kepala teh ratih tepat dibagian jidat, bapak mencengkaramnya dengan kuat. Teh ratih berteriak-teriak, merontak bahkan tak segan untuk mencakar dan menedang tubuh bapak. 

“bantu saya, pegang tangan dan kakinya” teriak bapak pada kami. Sontak semua pria yang ada disana ikut 
membantu.

Walaupun tangan dan kakinya sudah dipegang kuat, tapi tampaknya teh tarih masih berusaha melawan bapak dengan memajukan mulutnya untuk menggigit. Mungkin saking kesalnya karena gigitannya tak juga kena, teh ratih meludahi bapak beberapa kali. Tapi bapak tak gentar dengan serangan yang dilakukan, hingga akhirnya teh ratih tergolek lemas tak berdaya. Setelah keadaan tenang teh ratih ditidurkan kembali diatas ranjangnya. 

Menurut bapak yang ada dialam tubuh teh ratih bukan nyawanya sendiri, tapi mungkin setan suruhan seseorang sedangkan nyawa teh ratih tersesat berkeliaran. Saya kira kejadian itu hanya terjadi dalam film saja, ternyata nyawa bisa juga keluar dari tubuh kita dan tersesat. Entah benar atau hanya mengada-ngada dengan apa yang diucapkan bapak, tapi bila melihat kejadian yang baru saja terjadi memaksa saya untuk sedikit meyakininya.

“dia sedang kelelahan, mungkin nanti akan kumat lagi sep.” kata bapak.

“terus saya harus gimana pak ?”

Lalu bapak menjelaskan kepada kang asep bahwa ini pengalaman pertamanya menangani kasus seperti ini, dulu memang kejadian seperti ini pernah terjadi, tapi bapak hanya sebatas menyaksikan saja tak ikut andil dalam mengobati.

“kita harus melakukan upacara “ngajemput lelembut”. Kata bapak kepada mas asep.

istilah “ngajemput lelembut” ini kalau dalam bahasa indonesia bisa diartikan menjemput nyawa. Menurut bapak Dahulu kala Konon upacara ini sering dilakukan atau lumrah dikampung. Karena dulu saat kampung kami masih benar-benar hutan dan masih banyak tempat-tampat keramat banyak orang-orang yang tersesat atau linglung tak bisa pulang, padahal secara penglihatan lahir orang tesebut hanya tertidur, biasanya jasadnya disembunyikan si setan di semak-semak atau bahkah didahan-dahan pohon besar. Orang yang biasanya diisengi setan itu karena melanggar atau berlaku tidak sopan, seperti mengencingi sebuah pohon atau duduk diatas makan tanpa sengaja.

Akhirnya malam itu kami memutuskan untuk diam dirumah kang asep, bersama bapak-bapak yang lain tetangganya kami berbincang seru, seakan melupakan kejadian mengerikan yang baru saja terjadi. Saya ikut nimbrung tapi tidak ikut mengobrol, hanya menikmati kopi dan kacang rebus yang disediakan mertua kang Asep.

Hingga akhirnya “tahrim” berkumandang. Tahrim itu kalau dikampung saya adalah istilah untuk membangunkan orang untuk sholat subuh, jadi biasanya seseorang datang ke masjid dan membaca alquran melalu speaker, hal itu dilakukan sampai tiba waktunya adzan subuh. Dikampung saya biasanya tahrim dimulai dari jam setengah empat pagi.

Saya dan bapak berpamitan untuk pulang, memburu untuk sholat subuh dirumah. Tapi sebelum pulang bapak berpesan dengan suara pelan agar mas asep mengorek-ngorek halaman depan atau belakang rumahnya untuk mencari benda-benda aneh yang mungkin saja ditanam oleh seseorang.

Sepulang dari rumah kang Asep, saya tidur kebablasan, jam setengah 1 siang baru bangun. Dan ketika hendak ke kamar mandi saya melihat bapak sedang membersihkan “parabot”. Istilah “parabot” ini adalah sebutan untuk benda-benda pusaka peninggalan nenek moyang dikampung saya. Kebetulan bapak punya warisan sebuah kujang dan pedang kecil lebih mirip golok sebenarnya yang dikasih dari kakek saya dulu, konon benda-benda pusaka ini harus dibawa saat upacara nyambut lelembut, katanya jaga-jaga kalau ada setan yang bengal hendak menyerang.

Saya yang tidak ada kerjaan, kemudian hendak membantu bapak untuk membersihkannya. Tapi bapak membentak saya ketika saya mau memegang kujang. Katanya tidak sembarang orang bisa membersihkannya. Benda-benda pusaka ini hanya boleh dicuci saat bulan mulud saja dan satu lagi ketika hendak dipakai. Itupun saat dicuci dengan ritual atau mungkin bacaan tertentu, telihat bapak membersihkannya tidak digosok dengan sikat atau dicelupkannya kedalam air, tapi dibersihkan dengan jeruk nipis pelan-pelan.

Takutnya ada yang salah paham, memandikan benda pusaka bukan berarti menyembah atau mengagungkannya. Apa yang dilakukan bapak hanya sekedar menghormati, semoga tidak ada orang yang menganggap bahwa perbuatan ini termasuk syirik atau menyekutukan tuhan.

Setelah selesai membersihkan pusakanya, kemudian bapak menyiapkan perlatan lain untuk melakukan upacara nyambut lelembut, yaitu kain batik bermotif merak, menurut kepercayaan disini merak bisa digambarkan sebagai makhluk penuntun kita dari alam gaib. Satu liter beras yang menyimbolkan hasil bumi, untuk membedakan dunia nyata dan gaib. sebutir telor ayam kampung yang menyimbolkan kelahiran, awal kehidupan yang baru.

Rencananya nyambut lelembut akan dilakukan setelah sholat isya, jadi nanti malam bapak akan kerumah kang Asep lagi, saya yang awalnya tidak mau ikut karena takut terjadi hal-hal aneh lagi dijalan tapi tak tega melihat bapak pergi sendirian. Jadi saya memutuskan untuk ikut lagi, dan berharap kali ini semua normal-normal saja.

Setelah melaksanakan sholat magrib, sekitar jam setengah tujuhan, kang Asep datang kerumah. Mungkin maksudnya untuk menjemput bapak, tapi bapak tidak mau berangkat sebelum adzan isya tiba, saya tidak tahu apa maksudnya. Akhirnya kang Asep menunggu sambil berbincang bersama ibu dan saya diruang tamu, sementara bapak masih sibuk menyiapkan barang-barang tadi siang yang hendak dibawa.

Setelah adzan berkumandang dan menunaikan sholat isya, bapak menghampiri kami diruang tamu. Dia duduk sambil menyalakan sebatang roko, sumpah baru kali ini saya melihat bapak meroko. Karena setahu saya bapak bukan seorang peroko. Dan yang bikin saya heran lagi roko yang dihisap bapak adalah roko lama merek sriwidari, sekedar info roko merek sriwidari ini biasanya bagian dari persembahan ketika upacara adat.

Seakan mengerti dengan tatapan bapak, kang Asep kemudian mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah benda yang dibungkus pelastik bening. Sebuah bungkusan kain putih yang berbentuk pocong kecil, ukurannya kira-kira sebesar lilin.

“ini ditemukan di pojok rumah saya pak, dikubur dibawah batu, saya curiga karena seinget saya tak pernah menaruh batu dihalaman.” Kata kang asep kepada bapak.

“buka sep,” perintah bapak.

Kemudian kang asep membuka bungkusan pocong itu, didalamnya terdapat “harupat”. Harupat itu bentuknya seperti lidi namun berwarna hitam. Harupat adalah bagian dari batang pohon aren. Juga sebundel rambut kusut, dan sebotol cairan merah yang saya tak tahu apa namanya tapi yang pasti itu bukan darah. warnah merahnya bening, tampak seperti minyak angin Cuma tidak berbau saja.

“orang ini niat banget pengen celakain kamu, hanya orang yang benar-benar sakit hati yang melakukan ini sep.” ucap bapak, kemudian ia menghisap rokonya dalam-dalam tampak sangat menikmati sekali.

“saya udah inget-inget, tapi perasaan saya tidak pernah berurusan serius sama orang pa.” entah benar atau bohong yang diucapkan kang Asep, walaupun secara logika tidak mungkin orang menyerang tanpa sebab kecuali orang gila, dan orang gila tidak mungkin isengnya sampai seniat ini pikir saya.

“yaudah ga usah dinget-inget, nanti tambah mumet. Yang penting sekarang istrimu bisa pulih lagi.” Jawab bapak santai

Bapak mematikan rokonya yang tinggal setengah, lalu ia mengambil bungkusan pocong yang sejak tadi tergeletak dimeja. Mulutnya komat-kamit seperti biasa melafalkan doa, kemudian ditiupkan pada bungkusan pocong ditangannya. Setelah selesai bapak meletakannya kembali diatas meja sembari menyuruh ibu untuk mengambil sebuah rantang.

“bakar sep” perintah bapak.

Setelah rantang dibawa sama ibu, dibakarlah pocongan itu oleh kang Asep yang kemudian abunya dimasukan kedalam rantang. Tidak memerlukan minyak tanah karena benda-benda itu mudah sekali terbakar, khusunya rambut dan harupat.

“ini rantangnya kamu bawa, abunya kamu bungkus dengan kain. Dan besok pagi-pagi kamu hanyutkan di kali.” Perintah bapak kepada kang Asep.

Setelah selesai membakar pocongan, kami bersiap-siap untuk berangkat. Seperti biasa ibu pamitan mau menginap lagi dirumah mba waryah dengan membawa kedua adik saya. Kang Asep membawa peralatan dalam ransel dengan motornya, sedangkan saya dan bapak mengikuti dari belakang. Kali ini saya sedikit tenang karena kita berangkat jam setengah delapan malam, dimana jalanan mungkin masih ada orang lalu lalang. Khusunya tukang ojeg yang pulang kemaleman dari pangkalan pasar.

Setelah sampai, ternyata dirumah kang Asep udah ada beberapa orang tetangganya yang sedang menjenguk. Tapi begitu kami datang mereka berpamitan pulang, seperti mengerti mereka tak mau mengganggu privasi. Sementara teh Ratih tampak tenang diranjang, walaupun masih setengah sadar. Menurut kang Asep semenjak dari kemarin teh Ratih belum kumat lagi, dia udah mulai tidur tidak seperti sebelum-sebelumnya.

“sekarang aja pa dimulai ?” pinta kang Asep kepada bapak.

Bapak langsung bergerak membuka isi ranselnya, menyiapkan beras yang kemudian dituangkan kedalam mangkok. Sebutir telur ditaruh diatas beras, sedangkan kujang diletakan berdampingan. bapak menyuruh kang Asep agar teh ratih dibopong keruang tengah. 

Digelarlah tikar, teh ratih tidur terlentang diatasnya tanpa bantal, setelah bapak menyiprat-nyipratkan air keseluruh tubuh teh Ratih, kemudian tubuhnya ditutupi kain batik bermotif merak yang sudah bapak bawa. Kini teh Ratih terlentang seperti mayat ditutupi kain, tapi anehnya kali ini dia tidak melawan, malah pasrah saja seperti orang kebingungan. Bapak menyuruh kami yang berada disitu untuk membaca ayat kursi berulang-ulang. Katanya untuk menjaga tubuhnya agar tak dimasukin setan sembarangan, selama bapak pergi untuk menyusul teh Ratih kealam gaib.

Bapak bersila sambil memejamkan mata, mulutnya komat-kamit seperti biasa melafalkan doa. Sedangkan saya, kang Asep beserta mertua dan adik iparnya membaca ayat kursi tak henti-henti. Mungkin sekitar setengah jam man tidak ada perubahan berarti kami masih tetap seperti ini, hingga akhirnya tubuh teh Ratih yang tertutup kain batik itu menggelapar-gelepar seperti ikan didaratan.

Bulu kuduk saya merinding ketika menyaksikan kejadian tersebut, kami yang berada dibelakang bapak saling menatap kebingungan. Kang Asep hendak menghampiri istrinya yang masih menggelepar, tapi saya menahan. Saya mengingatkan mungkin sebaiknya kita tidak melakukan apa-apa dulu sebelum mendengar perintah selanjutnya dari Bapak. Maka kamipun melanjutkan membaca ayat kursi seperti yang diperintahkan tadi.

Tidak begitu lama sekitar dua puluh menitan, tiba-tiba tubuh teh Ratih bangun, dia menarik nafas panjang seperti seseorang yang baru saja tenggelam didalam air. Sontak kami semua loncat karena kaget, terutama mertua kang Asep yang sudah tua mengucapkan istigfar beberapa kali sambil mengelus dadanya.

“kang ?” begitu sadar teh Ratih langsung memanggil suaminya. Kemudian ia bangun dan memeluk ibunya yang masih merasa kaget. Kedua wanita itu saling berpelukan sambil menangis.

Setelah semuanya kondusif, dan teh Ratih terasadar, kami duduk diruang tengah, kang asep yang mungkin penasaran bertanya kepada istrinnya apa yang terjadi selama ia sakit. Maka teh Ratih mulai menceritakan pengalaman horronya kepada kami.

Menurut teh ratih kejadian itu berawal disatu hari sebelum ia sakit, waktu itu jam 11 malam ia masih ingat karena saat menonton tv dan merasa ngantuk. maka setelah melihat jam ia memutuskan untuk tidur. Teh ratih sendirian dirumah karena kang Asep sedang mengantar nanas pesenan ke daerah purwakarta waktu itu.

Ketika teh Ratih baru beberapa menit menutup mata, terdengar suara ketukan dipintu. Kemudian ia bangun dan membuka pintu, terlihat dua orang pria berdiri didepannya. Yang satu menggunakan kaos oblong, dan yang satu lagi mengenakan jaket kulit. Dengan nada terburu-buru pria yang mengenakan jaket memberitahu bahwa kang Asep kecelakaan, dan dipastikan tewas. Jasadnya sekarang berada dirumah sakit.

Teh Ratih yang mendengar kabar tersebut, merasa kaget. Ingatannya mungkin berada pada titik sadar dan tidak sadar. Lututnya merasa lemas dan ingin pingsan, bahkan ia menangis berteriak-teriak, kedua pria itu mencoba menenangkan teh Ratih. Menurut teh Ratih kalau dipikir sekarang tidak masuk akal katanya, waktu itu ia menangis cukup kencang sambil beteriak-teriak memanggil kang Asep tapi anehnya tak ada satu tetanggapun yang datang.

Setelah teh ratih merasa tenang, kedua pria itu menyuruhnya untuk bersiap-siap pergi kerumah sakit. Teh Ratih mengikuti saja semua perintahnya mungkin karena dia sudah merasa syok duluan mendengar suaminya meninggal. Dan ketika bapak bertanya bagiamana dia pergi kerumah sakit bersama kedua orang tua itu, teh ratih mencoba berpikir dan mengingat-ngingat.

“naik delman pak. Astagfirulloh saya baru ingat.” Jawab teh Ratih yang kemudian mukanya berubah menjadi ketakutan.

Kalau dipikir secara logika tak mungkin pergi kerumah sakit menggunakan delman. Bagi yang belum tahu delman itu adalah kereta kuda, atau didaerah lain disebutnya andong. Mungkin tak sadar karena selama perjalanan teh Ratih menangis, hingga akhirnya ia berhenti ditengah jalan. Kedua pria itu ijin untuk pergi buang kecil.

Tapi cukup lama pergi, kedua pria itu belum juga datang. Teh ratih yang daritadi merasa sedih hingga menghiraukan sekitar, kini ia mulai tersadar. Ia mulai merasa takut, bahkan ketika menengok kiri dan kanan ia merasa awam, jalanannya bukan jalanan seperti yang biasa ia lewati. Dan baru tersadar bahwa ia berada ditengah hutan.

Bayangkan ditengah hutan sendirian, duduk diatas andong hanya ditemani lampu kelenting yang tergantung didepan. Bahkan kuda yang tadi mengangkut andongnya juga mendadak hilang. teh Ratih tak bisa berbuat apa-apa ketika dia ia ditinggalkan kecuali menangis sendirian. Teh Ratih mencoba turun sambil memanggil-manggil kedua pria tadi, tapi nihil tidak ada jawaban.

-------------------------------

S A N T E T 

Part.2 from 3

Baca pelan pelan Part2 nya sambil nyemil singkong rebus. Ikuti alur cerita nya. Ceritanya memang panjang tapi seru dan tentunya hororr πŸ™‚ 

--------------------------

Teh Ratih kebingungan, dia mau teriak tapi takut karena dihutan itu ga ada siapa-siapa. Mau jalan takut tersesat. Akhirnya dia memutuskan untuk diam diatas andong. Kini pikiran teh Ratih tak lagi fokus pada kabar kematian suaminya, ia sekarang malah bersedih karena ga bisa pulang. Selama menunggu itu menurut teh Ratih beberapa kali dia mendengar suara ramai orang lagi baca yasinan, tapi tak tahu arahnya dari mana yang pasti suara itu berdengung ditelinganya. Mungkin karena selama teh Ratih sakit, kang Asep beberapa kali mengadakan pengajian rutin dirumah. 

Karena saya penasaran, maka bertanya berapa lama dan apa saja yang dilakukan teh Ratih waktu itu. Dia bercerita ketika sedang duduk diatas andong, dia didatangi seorang perempuan. Dia tak bisa memastikan wajahnya, tapi wanita itu mengenakan kebaya dan kerudung tapi rambutnya tergerai kedepan. samar-samar dia bisa melihat matanya yang bulat menatap tajam kearahnya.

“siapa dia teh ?” saya melanjutkan pertanyaan.

Teh Ratih menjawab bahwa wanita itu hanya muncul kadang-kadang, mula-mula hanya kepalanya saja yang terlihat sedang mengintip dibalik pohon. Kemudian sedikit demi sedikit dia mulai berani menampakan diri. Tapi dia tak pernah mau dekat, jaraknya sekitar beberapa meter dari tempat teh Ratih duduk.

“kenapa teteh tak bertanya atau menghampirinya ?” saya masih belum puas dengan jawaban teh Ratih.

“coba kamu bayangkan, saya duduk di hutan. Gelap gulita, sinar hanya berasal dari lampu kelenting itupun redup karena tertiup angin. Bahkan saya berusaha menjaga apinya agar tidak padam. Kemudian ada seorang perempuan yang memperhatikan dari kejauhan dengan tatapan yang menakutkan. Memangnya kamu bakal berani menghampiri lalu bertanya siapa dia ?”

Jawaban teh ratih membuat tubuh saya merinding. Berada ditengah kebun teh saja waktu dicegat anjing hitam kemarin hampir membuat saya kencing dicelana, apalagi teh Ratih sendirian dihutan. 

Tempat teh Ratih tersesat juga saya tanyakan apakah benar-benar hutan, dia menjawab tak tahu juga, yang pasti tempat dimana teh Ratih berada banyak pohon-pohon besar berdiri dan dia berada ditengah jalan lebar yang membentang, tapi bukan jalanan aspal. Dia memastikan itu jalanan tanah, seperti tanah liat, soalnya saat dia turun dari andong, kakinya kotor oleh lumpur.

Kata bapak untung teh ratih ga keliaran, soalnya kalau dia turun dan masuk kedalam hutan, pencarian bapak ga bakal secepat ini. Bahkan yang paling mengerikan mungkin teh Ratih ga bakal ditemukan, dia akan tersesat selamanya.

Menurut bapak ini cara paling sadis dalam mencelakakan orang, soalnya kalau hanya sekedar kirim paku, muntah darah atau bahkan sakit kepala, medianya hanya menggunakan boneka dan itu cara paling kasar, masih bisa dilihat dengan kasat mata. Tapi kalau sudah sampai menarik sukma dan menggantinya dengan siluman, itu cara paling halus tapi mematikan. 

“berapa lama teh Ratih disana ?” saya masih penasaran.

“saya tak tahu, tapi mungkin tidak sampai sehari. Soalnya selama disana, hutan tetap gelap gulita. Hingga akhirnya saya melihat bapak, awalnya saya pikir bapak orang jahat yang hendak mencelakakan saya. Sampai akhirnya saya merasa yakin karena terdengar suara ibu samar-samar memanggil nama saya.”

Gila pikir saya, teh ratih sakit sudah hampir satu bulan lebih, tapi dia disana tidak sampai satu malam. saya ingin menanyakan perbedaan waktu ini kepada bapak, tapi rasanya waktunya tidak tepat jadi saya urungkan niat, kapan-kapan saja.

“oh iya pak mengenai wanita yang selalu memperhatikan saya itu siapa yah ?” tanya teh Ratih kepada bapak, mungkin dia juga penasaran.

Tapi bapak menjawab sewaktu menjemput teh Ratih, dia tak melihat apapun. Itu bisa siapa saja, tapi bapak bilang tak penting lagi, yang penting sekarang teh Ratih sudah sembuh. Bapak berpesan agar nanti sebelum tidur berdoa dulu, bisa alfatihah atau bahkan bismilah juga tidak apa-apa. Setidaknya ada penjagaan, bila ada hal-hal aneh kita bisa tersadar.

Dua orang pria yang menjemput teh ratih itu adalah suruhan kata bapak, mereka ditugaskan untuk menjemput sukma teh Ratih. Mendengar keterangan bapak teh Ratih baru sadar bahwa saat dia bangun dan membuka pintu itu ternyata hanya sukmanya saja, sedangkan jasadnya masih terbujur ditempat tidur, saat itulah siluman suruhan masuk menggantikannya.

“pak apa bapak bisa untuk membalikan santet ini, agar dikembalikan kepada yang mengirim, hanya sekedar untuk ngasih pelajaran saja ?” kata kang Asep.

Mendengar perkataan kang Asep, bapak merasa kaget atau mungkin marah. Saya tahu ekspresi bapak kalau sedang menahan kesal atau marah saat sedang dirumah. Tapi bapak tidak menunjukan kemarahannya, dia lebih memilih diam dan menarik nafas dalam-dalam. Saya juga sedikit aneh mendengar kata-kata kang asep, koq kesannya kang Asep seperti menyuruh bapak untuk menyantet orang.

“huss. Ga boleh gitu sep. sukur alhamdulilah istrimu sudah sembuh juga. Ga usah macam-macam dan nyari perkara lagi.” Jawab mertua kang Asep.

“takutnya kalau ga dikasih pelajaran, orang yang mencelakakan saya ini ga kapok dan bakal berulah lagi.” Sepertinya kang Asep ngotot sekali.

Untuk mencairkan suasana, bapa bercerita tentang kisah serupa seperti yang dialami hari ini. Kejadian ini ketika dia masih remaja katanya. Waktu itu ada salah satu tetangga bapak mengalami hal yang sama seperti teh Ratih, bahkan lebih parah. Mari kita sebut saja tetangga bapak ini teh Maryah.

Teh Maryah ini kondisinya sama seperti teh Ratih kalau sedang kumat, tapi parahnya lagi Teh Maryah suka berkeliaran dihutan, jadi dulu dibelakang kampung kami itu masih ada hutan liar sebelum akhirnya hutan tersebut dibuka pemerintah untuk dijadikan perkebunan teh seperti sekarang.

Bapak masih ingat, sekitar tengah malam kalau ga salah, tiba-tiba terdengar suara kentongan dari bale desa. Orang-orang ribut dan berbondong-bondong keluar rumah untuk menghampiri kearah sumber suara. Biasanya kentongan hanya dibunyikan kalau dalam keadaan darurat saja, kalau ada maling atau terjadi bencana. Maklum dulu gunung tangkuban perahu beberapa kali masuk dalam kondisi waspada, himbauan dari pemerintah.

“ ada apa kang ?” Bapak saya keluar rumah dan menanyakan apa yang terjadi, takut kalau-kalau gunung tangkuban perahu meletus.

“ga tahu, mungkin ada maling sapi lagi.” Jawab orang yang lewat kepada bapak.

Bapak yang masih remaja waktu itu bersama kakek saya ikut keluar untuk pergi ke balai desa, walaupun nenek menyuruh bapak untuk diam saja dirumah karena khawatir terjadi apa-apa. Tapi bapak saya persis seperti saya sekarang mempunyai rasa penasaran yang amat tinggi, atau mungkin waktu itu usianya yang masih remaja jadi rasa ingin tahunya sangat besar terhadap sesuatu.

Bapak saya datang ke bale desa bersama beberapa warga pria lainnya, disana sudah ada pak lurah dan suami teh Maryah. Beberapa warga yang belum tahu duduk perkaranya mulai berargumen macem-macem mulai dari ada yang kemalingan, ada yang meninggal sampe bilang ada teroris masuk kampung. Sampai akhirnya pak lurah menceritakan semuanya

Rumah pak lurah berdampingan dengan balai desa, biasanya yang membunyikan kentongan adalah warga yang ronda dengan seijin pak lurah. Tapi anehnya koq suara kentongan itu tiba-tiba sampai membangunkannya. Begitu pak lurah mengecek keluar rumah katanya dia melihat kang Solihin suaminya teh Maryah sedang memukul kentongan sambil menangis.

Kentongan kandung dipukul dan warga sudah terlanjur panik, maka kang Solihin yang masih terisak menjelaskan kepada kami semua kenapa dia bisa sampai memukul kentongan desa.

“saya sedang tidur lelap, tiba-tiba saya dibangunkan istri. Katanya dia minta dianter buat buang air besar, setelah itu saya mengantarnya ke sungai.” Ucap kang Solihin masih dalam keadaan terisak-isak.

Sekedar info pas jaman bapak saya dulu jarang warga yang mempunyai WC didalam rumah, hanya orang-orang kaya tertentu saja yang punya. segala aktivitas seperti mencuci, mandi dan buang air semua dilakukan di sungai, yang letaknya terpisah dari pemukiman. Sungainya cukup besar, ada batu-batu besar yang menjulang, tapi kalau musim hujan tiba batu-batu itu terendam karena air meluap. Dan juga dihulu ada air terjun yang cukup tinggi, sehingga dari hilir kita bisa mendengar suara gemuruh air terjun, kalau pada siang hari indah dan banyak anak-anak yang berenang disana, tapi kalau malam hari ga ada yang berani kecuali orang kebelet saja, begitu menurut bapak.

“saya suruh dia untuk jongkok dibatu pinggir saja, karena saya khawatir air sungai sedang meluap karena tadi sore hujan. Tapi dia menolak, takutnya ada orang lewat katanya, saya kira sekarang masih jam 8. Maka saya mengijinkannya saja ketika dia mau maju ke batu yang berada di tengah sungai.” Kang Solihin melanjutkan ceritanya.

Gila pikir saya, kang solihin tidak sadar bahwa ini hampir jam satu malam. para warga mulai berpendapat macam-macam tanpa mendengar penjelasan kang Solihin sampai selesai, bahkan ada yang bertanya kepada kang Solihin apa istrinya hanyut disungai.

“saya tak bisa memastikan waktunya, tapi saya rasa cukup lama, koq istri saya belum selesai-selesai. Saat saya menyorotkan lampu senter kearahnya dia memang masih terlihat jongkok diatas batu, saya panggil-panggil agar cepat-cepat, karena saya tidak kuat menahan kantuk. Tapi dia tetap tidak merespon.” Seperti tidak kuat kang solihin kembali menangis sejadi-jadinya.

“lah koq nangis, gimana istrimu solihin ?” warga yang tidak sabar mulai merasa kesal karena kang solohin malah nangis dan bukan menyelesaikan ceritanya.

Maka pak lurah turun tangan, karena sebelumnya kang solihin sudah menceritakan kejadian ini kepadanya. Menurut pak lurah teh Maryah tidak menengok saat dipanggil, kang Solihin memutuskan untuk mengambil batu kecil, lalu dilemparkanlah batu itu ke tubuh teh maryah, awalnya dia takut kalau teh Maryah ketiduran. Tapi tidak begitu lama teh maryah menengok kearah kang Solihin.

Namun ada yang aneh dengan istrinya kang solihin, saat menengok dia melihat muka seram bukan main, matanya melotot sempurna, wajahnya pucat pasi, rambutnya tergerai menutupi sebelah wajahnya dengan senyum misterius. Kang solihin langsung tersentak kaget dan juga takut tentunya. Bahkan yang lebih mengerikan lagi menurut kang Solihin istirnya itu tertawa ngikik.

Karena ketakutan kang solihin terpaku diam menyaksikan istrinya yang berubah, hingga akhirnya teh Maryah meloncat-loncat diatas batu dia pergi menuju hulu, kearah air terjun.

Malam semakin larut, saya dan keluarga Kang Asep semakin penasaran dengan kisah Bapak waktu muda. ditemani segelas kopi dan singkong rebus sebagai cemilan, bapak melanjutkan kisahnya. Saya tahu maksud bapak menceritakan kisah mudanya dulu, mungkin untuk memberi pelajaran kepada kang Asep, atau mungkin hanya untuk menenangkannya agar Kang Asep tidak menaruh dendam kepada pelaku santet istrinya. 

AAAAA



Bapak bukan tipe ditaktor, dia tak pernah menggurui orang, termasuk saat memberi tahu saya tentang pelajaran hidup. Dia lebih suka menceritakan sebuah kisah dan membiarkan yang mendengar mencernanya sendiri. Karena menurut bapak sejarah hidup seseorang akan selalu terulang entah pada diri sendiri, Lingkungan atau bagi anak cucunya dimasa mendatang, maka dari itu kenapa ada istilah “pengalaman adalah guru yang terbaik” begitu menurut bapak.

“lalu apa yang terjadi pada istri kang Solihin selanjutnya pak ?” saya semakin penasaran.

Pak lurah memerintahkan warga untuk melakukan pencarian. Sebagian warga yang tidak setuju dengan pak lurah mengajukan usulan kenapa tidak besok pagi saja mengingat ini sudah hampir jam setengah dua malam. akhirnya warga terbelah dua, ada yang pulang karena mungkin besok harus bekerja diladang, ada yang peduli dan mau untuk ikut mencari teh Maryah. Pak lurah tidak bisa berkata apa-apa dia juga harus menghormati 
pendapat warganya, tapi setidaknya masih ada warga yang mau ikut membantu kang solihin.

Bapak dan kakek saya termasuk kedalam warga yang ingin ikut mencari teh waryah. Kata bapak warga yang waktu itu ikut bersama pak lurah untuk menyusul teh Maryah berjumlah sekitar 21 orang.

Setelah rapat, pak lurah memutuskan untuk melakukan pencarian disekitaran sungai. Warga yang sudah siap dengan peralatan dapurnya berkumpul dibalai desa. Konon katanya kalau ada orang yang hilang malam-malam, saat mencari warga biasanya sambil memukul-mukul alat dapur tersebut, bisa panci atau wajan. Bunyi itu dipercaya bisa untuk mengusir makhluk jejadian, biasanya sih praktek ini dilakukan untuk mencari anak yang hilang karena dibawa wewe gombel. Tapi karena kita tak tahu apa yang terjadi pada teh Maryah maka tidak ada salahnya dengan mencoba cara yang sama.

Sebelum berangkat pak lurah memimpin doa. Kemudian pencarian dimulai, sebagian warga bertugas untuk memegang senter dan menjadi penunjuk jalan, sebagian lagi memukul-mukul alat dapur sambil memanggil-manggil nama teh Maryah.

“neng Maryah… neng Maryah.. neng Maryah.” Teriak warga, suaranya membahana berlomba dengan suara gemuruh air terjun dihulu sungai.

“dimana terakhir kali istirimu terlihat solihin ?” tanya salah satu warga.

“disitu, diatas batu itu, sebelum akhirnya dia pergi meloncat-loncat menuju ke hulu.” Jawab kang solihin.

Keadaan sungai benar-benar gelap gulita. salah satu warga yang berani, mencoba turun kesungai sambil membawa senter. Dia menyorotkan cahaya kearah hulu, namun nihil katanya tak melihat apapun selain gundukan batu. Salah satu warga ini berinisiatif untuk mencarinya dengan menelusuri sungai berjalan diatas batu menuju hulu, tapi pak lurah menghentikannya, terlalu bahaya, takut tergelincir dan terbawa arus. Bukannya menyelesaikan masalah keadaan malah tambah darurat saja katanya.

“jangan-jangan istrimu sudah hanyut.” Celetuk salah satu warga.

“huss, jangan begitu.” Bentak pak lurah.

“apa kita harus ke air terjun pa lurah ? saya ga mau kalau begitu.” Semua warga berhenti tiba-tiba dan mereka saling menatap satu sama lain ketika mendengar ucapan rekannya.

Air terjun didesa kami cukup tinggi, airnya juga cukup deras apalagi tadi sore habis hujan. Disekitar air terjun banyak pohon beringin berdiri. Kabar angin yang berselentingan tentang betapa angkernya tempat itu telah menciutkan nyali beberapa warga malam ini, termasuk pak lurah mungkin karena dia tidak berkomentar sama sekali. 

“kang Toha aja duluan, akang kan udah biasa ngurusin mayat jadi pasti berani.” Kata salah satu warga kepada kakek saya.

Toha Cuma nama samaran, nama kakek saya yang sebenarnya saya rahasiakan. Waktu itu kakek saya masih menjadi muridnya dari syeh mayit yang lama dan belum diangkat. kakek saya masih muda jadi belum terlalu bijak dalam mengambil keputusan menurut bapak, hingga akhirnya dia menyerahkan semua keputusan kepada pak lurah saja.

Perdebatan berjalan alot, hingga akhirnya warga terbelah kembali menjadi dua kelompok. Kelompok yang ingin pulang karena tidak berani menuju air terjun malam-malam, dan kelompok yang sebenarnya tidak berani juga namun tak tega dengan kang Solihin, termasuk pak lurah dan kakek saya didalamnya. Sedangkan bapak saya pulang bersama warga lainnya.

“jadi bapak tak tahu apa yang terjadi malam itu di air terjun karena pulang ?” saya semakin antusias dengan cerita bapak, sepertinya yang lain juga. Karena kang Asep beserta istrinya tampak mendengarkan dengan serius.

Tidak begitu lama kacang rebus yang masih mengepulkan asap datang, disajikan mertua kang Asep sebagai teman dalam mendengarkan cerita bapak. Setelah menyeruput kopi beberapa kali bapak melanjutkan ceritanya.

Menurut cerita kakek kepada bapak, malam itu yang pergi ke air terjun berjumlah delapan orang. Ketika sampai di air terjum, mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Karena suara teriakan teredam oleh gemuruhnya air. Lampu senter yang dibawa disorotkan kekiri dan kekanan, sebagian lagi menyingkab semak-semak untuk mencari keberadaan teh Maryah.

Menurut kakek, beberapa kali dia mendengar suara tangisan wanita. Tapi dia merasa tak yakin, karena disekitarnya berisik oleh suara air, dan juga rekan-rekan yang lain tampak anteng seperti tidak mendengar apa-apa. Entah kebetulan atau disengaja, ketika kakek saya menyorotkan lampu senternya kearah sungai seperti ada tangan yang melambai-lambai, mungkinkah itu teh Maryah yang tenggelam.

“astagfiruloh itu.. disungai..itu..itu.” teriak kakek saya panik.

Sontak semua warga termasuk pak lurah menyorotkan senternya kearah sungai yang ditunjuk-tunjuk oleh kakek saya. Namun ternyata nihil tidak ada apapun disana.

“ada apa kang toha ?”

“tadi saya melihat tangan muncul dari sungai dan melambai-lambai, mungkin itu si Maryah.” Jawab kakek saya.

Semua orang saling bertatapan dengan kebingungan. Bagaimana bisa orang melambaikan tangan diarus sungai yang begitu deras, seandainya pun tenggelam pasti sudah terbawa arus. Tapi untuk memastikan semua senter mengarah kearah sungai mencari-cari dimana keberadaan tangan yang dimaksud kakek saya. Hingga akhirnya kakek saya mendengar suara tangisan itu lagi ditelinganya.

“pak lurah denger sesuatu ga ?” tanya kakek saya.

“suara air maksud kang toha ? saya ga denger apapun selain gemuruh air.”

Dari situlah kakek tersadar, mungkin kabar selentingan tentang angkernya air terjun dimalam hari benar adanya. Untuk menjaga situasi tetap kondusif, kakek saya membisikan apa yang dialaminya kepada pak lurah, tentang suara wanita yang menangis dan terus berdengung ditelinganya. Pak lurah yang mendengar bisikan, tiba-tiba wajahnya menjadi pucat, bahkan beberapa kali dia menelan ludah.

“semuanya pencarian kita hentikan dulu, mengingat sudah lama kita disini dan belum ada hasil, besok kita lanjutkan lagi pagi-pagi”. Teriak pak lurah kepada warganya yang masih sibuk menyorotkan senter kesegala arah.

Pencarian teh maryah malam itu berakhir, begitu menurut bapak. Hingga akhirnya teh maryah ditemukan dua hari kemudian diatas pohon beringin persis disamping air terjun oleh anak kecil yang mau berenang disana, penemuan kembali teh Maryah itu sempat menggemparkan kampung.

Semenjak ditemukan hari itu keadaan teh Maryah tak pernah normal lagi, keadaannya persis seperti teh Ratih menurut bapak. Bahkan lebih parah, saat sedang kumat teh Maryah lebih gila lagi, dia suka berkeliaran seperti orang kebingungan. Tempat favoritnya kalau menghilang menurut bapak kalau tidak disungai, ya dihutan belakang kampung.

Teh Ratih masih beruntung bisa disembuhkan, berbeda dengan teh Maryah yang akhirnya menjadi gila, bahkan keluarganya yang cape karena terus menghilang memasungnya dibelakang dirumah. Hingga akhir hayatnya teh maryah tak pernah sembuh lagi.

"terus gimana dengan kang solihin pak ?” tanya saya karena penasaran.

“dia sempat masuk penjara, tapi belum ada kabar lagi tentangnya. Menurut kabar sih dulu setelah keluar penjara dia pergi keluar jawa. Entah ke sumatra, kalimantan atau entah kemana tak ada yang tahu.” Jawab bapak.

“lah koq bisa dipenjara ?” Akhirnya teh ratih tertarik juga dan ikut bertanya.

Menurut bapak ketika teh Maryah sakit, kang Solihin sibuk mencari paranormal untuk menyembuhkan istrinya. Hingga ia mendapatkan orang kepercayaan yang diyakini bisa menyembuhkan istrinya, mungkin karena kang Solihin masih muda dan egonya terlalu tinggi, selain menyembuhkan teh Maryah, ia malah menyuruh orang pintar kepercayaannya untuk menyantet balik si pelaku.

Hampir satu minggu kampung geger oleh suara dentuman seperti ledakan ditengah malam menurut beberapa warga yang mendengar. Bahkan warga yang ikut ronda , tak sengaja melihat bola api terbang. kabar itu sulit untuk diungkap karena hanya beberapa warga saja yang melihat. Tapi menurut kakek saya yang mempunyai sedikit ilmu kebatinan suara itu terjadi karena ada perang ilmu yang tak kasat mata.

Menurut bapak dia tidak tahu apa yang terjadi, apa mungkin si orang kepercayaan kang solihin ini kalah atau bagaimana. Yang pasti seminggu kemudian kang Solihin ngamuk-ngamuk sambil membawa golok kerumah salah satu warga dikampung bapak, yang tak lain adalah seorang paranormal juga. Dia hendak membunuh pria ini, untung beberapa warga menghalangi. Walaupun begitu, paranormal muda yang tak lain adalah masih kerabat pak lurah ini tak bisa luput dari bacokan golok kang Solihin. Tapi untungnya kerabat pak lurah ini berhasil diselamatkan.

Kang solihin yakin bahwa pria muda ini adalah pelaku penyantetan istrinya, namun karena hal-hal gaib sulit untuk dibuktikan dipersidangan, eh malah kang solihin yang masuk penjara dengan tuduhan percobaan pembunuhan.

Begitu mendengar akhir kisah bapak, kami semua diam. Untunglah hal mengerikan itu kini tinggal kenangan.Waktu menunjukan jam 11 malam, tiba-tiba saya teringat ucapan bapak bahwa sejarah hidup akan selalu terulang entah menimpa siapapun diluar sana. Hingga saya menatap kang Asep dengan penuh tanda tanya…

Dua hari berlalu, semenjak obrolan tengah malam dirumah kang Asep. kehidupan kembali normal, walaupun saya belum mengerti untuk standar yang dikatakan normal itu seperti apa. Teh Ratih kembali pulih, kang Asep sedikit demi sedikit kembali menjalankan usahanya yang satu bulan kebelakang sempat terpuruk.
Untuk penjagaan agar tak ada yang kembali lagi mengganggu teh Ratih, bapak melakukan upacara adat yang dinamakan “numbal imah”.

Numbal imah ini semacam kebudayaan lama, yang masih ada dikampung saya. biasanya dilakukan ketika sebuah rumah baru berdiri, atau keluarga yang akan pindah kerumah baru. Menurut kepercayaan penduduk dikampung saya, hal ini dilakukan sebagai tolak bala, agar rumah tersebut terhindar dari marabahaya dan gangguan hal-hal yang tak kasat mata.

Numbal imah bukan sebuah upacara besar, dengan ritual yang aneh-aneh. Hanya menancapkan 4 bambu kuning dengan panjang sekitar 10 centimeter di empat penjuru rumah. Setelah itu dilakukan sukuran dengan mengundang para tetangga untuk melakukan pengajian dengan diakhiri acara makan-makan. Jika dilihat dari sudut pandang sosialnya, mungkin sebenarnya tradisi numbal imah ini hanya untuk merekatkan hubungan silaturahmi sesama warga.

Jangan terlalu berpikir negatif, kami hanya menjalankan tradisi. Menghormati warisan filosofi hidup leluhur terdahulu kami. Karena apapun upacara yang dilakukan hanyalah sebuah cara, ketentuan kita serahkan dan kembalikan pada sang pencipta, yang bagi umat islam seperti kita yaitu Alloh subhanawataala.

Saya kira semuanya akan baik-baik saja, namun ternyata manusia memang tak bisa lepas dari masalah. Hingga akhirnya terror yang dialami kang asep kini pindah ke keluarga saya. Yang pertama kali menyadari bahwa keluarga kami sedang diganggu adalah ibu.

Ibu bercerita kepada saya, sebelum akhirnya dia juga bercerita kepada bapa tentang hal-hal aneh yang dialaminya. Kejadian itu diawali ketika kami sedang bakar-bakar sate ayam. 4 ekor ayam broiler dikirim paman saya yang baru saja panen di peternakannya. Sekitar jam 10 malam keluarga saya masih belum tidur, masih asik memanggang tusukan sate dihalaman belakang, dapur lebih tepatnya.

Kebetulan rumah saya memiliki dapur yang terpisah dari bagian rumah. letaknya beberapa meter saja dari rumah. Dapur kami ini tiang-tiangnya terbuat dari kayu, dindingnya dari anyaman bambu atau orang-orang biasa menyebutnya “bilik”. Dengan atap genteng lama yang sudah berwarna coklat. Sebuah dapur yang cukup luas, selain ditempati koleksi perabotan dapur milik ibu disana juga ada bangku berbentuk persegi empat, tempat dimana bisanya kami makan bersama-sama.

Bapak masih sibuk mengipas-ngipas arang agar dagingnya cepat matang, sementara ibu sibuk meracik bumbu kacang. Dan kedua adik perempuan saya tampak lahap menikmati setiap potongan daging empuk berwarna coklat karena terbalut kecap.

“koq bau amis ya pak.” Ucap ibu saya ketika sedang mengolesi daging dengan jeruk nipis dan kecap manis.

“ah, engga. Daging ayamkan baunya ga terlalu bu, ga kaya daging kambing.” Jawab bapak.

“bukan, bukan dari daging pa, dari luar kayanya.” Sambil mengendus-ngendus ibu mencari arah bau berasal.

Karena mendengar ucapan ibu, kami semua ikut mengendus. Tapi jujur kami semua tak mencium bau apapun. Mungkin karena penasaran ibu keluar, mencari sumber bau berasal. Saat keluar ibu melihat sepasang mata hijau, terlihat dibawah pohon rambutan tampak sedang mengawasi. Awalnya dia tidak curiga dan menduga itu seekor kucing, karena mata kucing akan bercahaya ditempat gelap.

mungkin karena ibu kasihan atau mungkin hanya ingin berbagi rejeki saja, ibu melambai-lambaikan satu tusuk sate sambil memanggil-manggil yang ia kira seekor kucing, “puss..puss..puss, sini puss.” 

Tapi tampaknya sesosok mata itu tak pernah bergeming dengan ajakan ibu saya, terus menatap tanpa berkedip sedikitpun. Kesal karena panggilannya tidak dihiraukan, ibu melemparkan satu tusuk sate kearah sepasang mata tersebut. Tapi masih tetap tidak bergerak sedikitpun, ibu merasa takut sebenarnya, namun dia lebih memilih diam, kemudian masuk lagi kedapur melanjutkan aktivitasnya tanpa membicarakannya dengan kami.

Kejadian itu berulang, ketika ibu bangun jam 4 subuh hendak pergi kedapur membersihkan sisa acara bakar-bakar semalam. Maklum dikampung saya biasanya para ibu bangun lebih pagi dibanding anak-anak dan suaminya, tujuannya untuk menyiapkan sarapan dan bekal yang hendak dibawa suaminya pagi-pagi ke ladang.

Tahrim belum berkumandang di masjid, tapi ibu sudah terbangun karena sudah terbiasa. Ketika hendak membuka pintu belakang rumah, sekelebat seperti ada orang yang berlari persis didepannya. Ibu saya merasa kaget dan sedikit ketakutan, melirik ke kiri dan kenanan untuk memastikan bahwa yang dialaminya barusan bukan delusi atau imajinasi karena belum sadar dari tidurnya.

Namun nihil, tak ada seorangpun yang ibu lihat. Dia mencoba meyakinkan diri bahwa barusan nyata, bahkan dia bisa merasakan hembusan angin yang barusan lari dan getaran dari tanahnya juga terasa nyata.

Ketika berjalan menuju dapur dan hendak membuka pintunya, ibu teringat kembali kejadian tadi malam saat melempar setusuk sate ke arah pohon rambutan. Maka dengan reflek dia kembali mengecek pemandangan pohon rambutan, dan apa yang dilihat ? sepasang mata itu masih ada, berwarna hijau tampak bulat dan tak berkedip sedikitpun.

Setelah masuk kedalam dapur, ibu mengambil korek api. Dia mencoba menyalakan tungku kayu untuk memasak. Tapi perasaan itu tak bisa dibohongi, kaki ibu katanya gemetar. Bulu kuduknya merinding, bayangan sepasang mata hijau itu selalu menempel dikepalanya.

Sekedar info, entah benar atau bohong katanya kalau bulu kuduk kita merinding karena ketakutan, itu karena ada makhluk astral yang sedang berada didekat kita. Karena dalam tubuh kita mengandung listrik, dan makhluk astral atau makhluk tak kasat mata ini memiliki energi maka ketika tubuh kita didekati reflek energi listrik didalam tubuh ini akan bereaksi. 

Ibu saya mencoba memberanikan diri dengan tetap beraktivitas dan menghiraukan bayangan-bayangan seram dikepalanya. Namun ketika bau amis itu tercium kembali dihidungnya, ibu menyerah dia lari menghiraukan pekerjaannya yang belum selesai.

Pagi hari ibu cerita kepada bapak tentang apa yang terjadi semalan dan tadi subuh, namun ketika dicek dibawah pohon rambutan tak ada apa-apa. 

“kalau sepasang mata hijau, jangan-jangan yang waktu kita dikebun teh itu pak ?”kata saya kepada bapak mengingatkan kejadian waktu kita dicegat anjing hitam.

“huss.. mungkin itu Cuma kucing saja.” jawab bapak tenang, agar suasana tidak semakin panik.

Ketika bapak pergi kesawah, ibu terus bertanya kepada saya tentang apa yang dimaksud kejadian dikebun teh dengan sepasang mata berwarna hijau. tapi saya mengerti maksud bapak, jika saya menceritakan apa yang terjadi peristiwa itu, ibu tak akan berani lagi bangun subuh untuk masak dan bisa kacau balau nantinya. Ibu saya itu orangnya gampang panik.

Untuk sekedar menenangkan hati ibu, maka saya memasang lampu dibawah pohon rambutan yang jaraknya beberapa meter dari dapur kami. Lampu bulat berwarna kuning dengan daya lima watt rasanya cukup untuk mengusir lagi kekhawatiran ibu. Maklum letak antara rumah kami dengan tetangga sedikit renggang, dipisahkan oleh kebun pisang yang gelap gulita kalau malam hari.

Namun rupanya teror belum berhenti sampai disitu. Menurut ibu Menjelang malam hari ia merasa ingin buang air kecil, maka ia bergegas pergi meninggalkan tempat tidurnya. Mata masih dalam keadaan sepet, pikiran ngantuk antara sadar dan tidak sadar ketika ibu beridiri dikamar mandi dan melihat kearah jendela kaca kecil, diluar sana ia melihat seorang wanita berdiri persis menatap kearahnya dengan wajah penuh amarah.

Ketika melihat kejadian itu ibu tersadar seketika. Rasa kantuk telah pergi, mata bersinar seperti bangun dipagi hari. beberapa kali dia mengucapkan istigfar, kemudian mencuci mukanya. Walaupun merasa takut, ibu kembali melihat kearah jendela kaca kecil kamar mandi untuk memastikan bahwa barusan bukan mimpi. Dan wanita itu masih beridiri, mengenakan kebaya putih dengan balutan kain batik dibawahnya, berkerudung putih pula tapi rambutnya tergerai kedepan.

Ibu yang panik segera keluar setengah berlari, dia berteriak namun suaranya tidak kelaur. Tubuhnya menggigil ketakutan setengah mati. Ibu saya segera menggoyah-goyahkan tubuh bapak saya yang sedang tertidur pulas.
“kenapa bu ?” tanya bapak saya ketika terbangun.

Ibu saya tidak berbicara, wajahnya pucat dengan pipi dibanjiri air mata. Dia hanya menunjuk-nunjuk keluar, dengan tangan yang bergetar. Bapak yang mengira ada maling sontak bangun dan berlari keluar membuka pintu.

Namun nihil tak ada siapapun diluar rumah, sepi dan sunyi. Hanya terdengar suara jangkrik dari kebun pisang sebelah dan semilir angin malam yang membuat tubuh menggigil.

“kenapa bu ? bu.. nyebut..isitigfar bu.” Bapak mengguncang-guncangkan tubuh ibu karena dia menangis karena ketakutan.

Saya duduk disamping ibu mengusap-ngusap bahunya mencoba menenangkan. Adik perempuan saya yang masih berumur 10 tahun terbangun kemudian membuatkan ibu teh manis. Malam itu benar-benar menggemparkan, saya bermaksud untuk mengundang tetangga agar suasana ramai dan ibu bisa sedikit tenang, tapi bapak melarangnya. Mengingat waktu sudah menunjukan jam setengah dua malam.

Ketika keadaan sedikit kondusif, dan ibu saya tidak ketakutan lagi bapak mulai bertanya apa yang dialaminya.

“waktu ke kamar mandi dari jendela kaca ibu liat ada perempuan, matanya meletot seperti marah sama ibu. dia sedang berdiri diluar sendirian.” ucap ibu yang kemudian menangis kembali mungkin karena bayang-bayang itu teringat lagi.

Akhirnya malam itu ibu dan kedua adik saya tidur diruang tengah, sementara saya dikursi sofa. Bapak mungkin yang tak bisa tidur, dia pergi keluar katanya mau berkeliling rumah untuk mengecek keadaan sekitar. Bapak juga sekalian ingin mencari tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Tapi ketika saya hendak terlelap tidur, terdengar suara orang sedang berlari, mungkin itu bapak. Getarannya bahkan masih terasa, saya yang merasa penasaran kemudian membuka gordeng kaca untuk mengecek. Dan saya melihat bapak berlari menuju kebun pisang yang gelap gulita, entah apa yang bapak kejar kearah sana. Ingin rasanya saya keluar, namun belum sempat saya beranjak dari kursi. tiba-tiba seorang perempuan berdiri dihalaman depan menatap kearah saya..

Wanita yang saya lihat dihalaman depan tiba-tiba menghilang ketika bapak kembali dari kebun pisang. Dengan baju basah karena bercucuran keringat bapak saya masuk kedalam rumah dan mengambil segelas air. Saya hendak bertanya apa yang terjadi, tapi saya urungkan niat itu ketika melihat bapak masih ngos-ngosan mengatur nafas.

Keesokan harinya saya bertanya kepada bapak tentang kejadian semalam. Bapak menjelaskan bahwa semalam dia melihat anjing hitam yang dulu pernah mencegat kita ditengah kebun teh. Anjing itu dipergoki bapak berada dibelakang dapur kami, rupanya dia ditugaskan untuk mengawasi keluarga ini.

Mungkin si pelaku santet marah kepada bapak, karena dia sudah membantu teh Ratih pulih. Dan sekarang mencoba balik menyerang bapak. Saya juga menceritakan tentang penampakan sesosok wanita yang terlihat dihalaman depan, mungkin sosok wanita tersebut juga yang menampakan diri kepada ibu waktu dikamar mandi. Tapi bapak menjawab dia tak melihat sosok wanita semalam hanya anjing hitam saja.

Ibu saya kembali pulih setelah diyakinkan bahwa semua baik-baik saja. kemudian bapak berpesan bahwa makhluk atau apapun namanya, tidak akan berani memasuki rumah, dia hanya mencoba meneror kita secara mental untuk kemudian lemah dari dalam. Seperti ibu yang ketakutan kemudian sakit karena mental dan jiwanya roboh sehingga mengakibatkan fisiknya juga ikut tumbang. Memang dari keluarga ini ibulah yang paling rentan jiwanya.

Sepertinya memang si pelaku santet yang misterius itu tak pernah jengah membuat keluarga saya celaka. Semenjak ibu pulih kembali dan beraktifitas seperti biasa, ada satu kejadian yang membuat ibu kembali sakit. waktu itu sebuah peristiwa terjadi setelah isya, lebih tepatnya sekitar jam 8 malam. bapak belum pulang kerumah, mungkin sehabis sholat isya dimesjid dia pergi ke rumah salah satu warga untuk tahlil 40 harian. Dirumah hanya ada saya, kedua adik perempuan saya dan ibu.

Saya waktu itu sedang dikamar membaca koleksi komik mini gareng petruk karangan Tatang S pinjaman dari teman lama saya yang baru pulang mudik juga, dia kuliah di jogja. Sedangkan ibu sedang dirumah tengah menonton tv. Menurut ibu ketika sedang asik menonton, terdengar suara ketukan di pintu, mungkin karena mengira itu tamu, ibu lantas bergegas untuk membukanya. Tapi begitu ibu membuka pintu, tak ada seorangpun berdiri disana, hanya beberapa batu seukuran jempol kaki tergeletak dibawah dilantai. Ketika ibu hendak menutup pintu teredengar seperti suara orang memanggil namanya.

ibu menyuruh masuk, dan temannya itu diam saja. karena mungkin ibu tak enak, malah dia yang menghampiri. Mereka berbincang cukup lama dihalaman depan sambil berdiri, karena sekeras apapun ibu mengajak temannya itu dia tidak mau masuk kedalam rumah. 

“ayo atuh bu kerumah saya, banyak makanan ga kemakan, lumayan buat anak-anak sama suami ibu.” Ajak perempuan itu kepada ibu.

Setelah diajak, ibu masuk kedalam rumah untuk mengambil kerudung, dia mengiyakan ajakan temannya itu tanpa berpikir panjang.

“jang ibu kerumah bu irma dulu yah.”

Mendengar ucapan ibu sontak saya kaget. Melemparkan komik yang sedang saya baca kemudian berlari menghampiri ibu. Saya mengguncang-guncangkan tubuh ibu sambil menyuruhnya untuk istigfar agar tersadar.

“kenapa ai kamu ?” ucap ibu melihat tindakan saya.

“ibu ga sadar, bu irma siapa ? ibu irma temen ibu pengajian itu ? dia sudah meninggal bu. Sekarang kan 40 hariannya.” Mendengar ucapan saya ibu langsung tergolek lemas, tubuhnya menggigil seperti kedinginan.

saya berlari kehalaman karena penasaran, dan disana tak ada siapapun. Jadi dengan siapa ibu berbincang tadi.

Ketika bapak datang saya menceritakan semuanya, bapak tampak geram namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Menurut bapak kalau saja waktu itu ibu ikut dengan jelmaan perempuan yang mirip dengan temannya itu, mungkin ibu akan hilang atau disesatkan dijalan. Persis kejadian seperti teh Maryah, tempo dulu. Sejak kejadian itu ibu saya sakit, semua aktivitas harian, saya dan kedua adik saya yang masih kecil yang mengerjakan. Bapak jarang tidur dimalam hari, dia selalu berjaga dan keliling rumah. Siang hari bapak juga tidur hanya beberapa jam, karena ada sawah dan kebun yang harus dia urus juga.

Dua hari semenjak ibu sakit, tepat jam 3 sore kang Asep datang kerumah. Bapak yang baru pulang dari sawah, langsung mengajaknya berbincang diruang tamu. Saya menduga mungkin kang Asep hanya main saja, karena semenjak teh Ratih sembuh dia belum pernah datang kerumah saya lagi.

“istri saya baru-baru ini kena terror lagi pak. Saya sudah cape sebenarnya dengan hal-hal seperti ini. Tapi orang yang mengganggu saya ini tampak tidak puas dan terus ingin mencelakakan keluarga saya.” Ucap mas asep, 

saya mendengarkan samar-samar dari ruang tengah sambil menonton tv.

Dari obrolan yang saya dengar, kang Asep ingin meminta bantuan bapak lagi. Saya belum tahu spesifik apa yang sebenarnya terror yang dimaksud disini. Apakah istrinya kang Asep kumat lagi seperti dulu.

“terror gimana sep ?” bapak saya bertanya.

Karena tertarik saya kecilkan volume tv, agar suara obrolan lebih terdengar. Kang Asep mulai bercerita tentang istrinya. Waktu itu Teh Ratih sedang sendiri dirumah, karena memang kang Asep sering berpergian untuk mengantar dagangannya. Ketika teh Ratih selesai sholat isya dia mendengar suara ledakan seperti suara petasan persis diluar kamarnya. Mungkin karena penasaran teh ratih membuka gorden jendela kamar, teh ratih kaget bukan kepalang ketika melihat bayangan seorang pria besar didepan matanya. Dia tak melihat sosok pria itu secara utuh hanya meilhat bayangan hitamnya saja.

Teh Ratih ketakutan, dia hendak menelpon suaminya. Namun belum teleponnya tersambung, gangguan itu datang lagi. Kini terdengar suara langkah kaki seperti orang berlari. Suara itu amat jelas bahkan teh Ratih bisa merasakan getarannya. Suara lari itu seperti mengelilingi rumahnya, mungkin kalau dihitung suara itu sekitar 6 putaran, teh ratih tak bisa memastikannya karena dia terlanjur ketakutan.

kang Asep tak bisa pulang, karena dia baru setengah jalan mengantar nanas ke daerah purwakarta langganannya. Maka kang asep menyuruh teh Ratih untuk pergi kerumah tetangganya. Karena rumah ibu teh ratih beda kecamatan dan sangat jauh tidak mungkin kang Asep tega menelpon mertuanya itu untuk menemani istrinya.

Teh ratih ingin keluar untuk meminta bantuan, tapi bayangan hitam itu tampak sedang menunggu diluar. Tak ada yang bisa dilakukan teh ratih kecuali menangis ketakutan. Teh Ratih mencoba berteriak meminta tolong, bahkan ia sangat keras berteriak, namun anehnya tak ada satu orangpun yang datang menghampirinya. Sepertinya kekuatan gaib telah meredam suara teh ratih agar tidak terdengar orang-orang, atau bagaimana saya tak mengerti cara kerja si pelaku santet.

Teh ratih pergi kedalam kamarnya dan dia sembunyi dikolong ranjang, untuk mengusir rasa takutnya. Tapi tiba-tiba dari jendela kamarnya, terdengar suara pelan perempuan. Suara itu begitu halus namun lirih seperti orang kesakitan. “Ratih..Ratih…Ratih…” suara itu terdengar berulang-ulang memanggil nama teh Ratih.

Teh Ratih yang semakin ketakutan dia mencoba menutup telinganya dengan telapak tangan, tapi suara wanita lirih yang awalnya pelan, kini dia terdengar marah. Suara tersebut menggelegar memanggil-manggil nama teh ratih. Suara teriakan perempuan itu dibarengi dengan suara gebrakan tangan yang memukul-mukul kaca jendela.

“astagfiruloh..astagfiruloh..astagfirlohh.” hanya istigfar yang keluar dari mulut teh ratih untuk menghilangkan ketakutannya.

“buka pintu ratihhh!!, keluar kau ratihh!!!” teriak suara perempuan dibalik kaca jendela kamar, yang sosoknya tak terlihat oleh teh ratih.

Ketika kang Asep pulang sekitar jam 3 pagi bersama temannya, merasa curiga karena teh ratih tidak merespon saat pintu diketok-ketok bahkan saat ditelpon pun tidak ada jawaban, tapi suara hp teh ratih didalam rumah terdengar oleh kang Asep. sekitar satu jam tidak ada jawaban juga, kang Asep yang merasa curiga dan khawatir akhirnya mendobrak pintu rumah.

Teh Ratih ditemukan dibawah ranjang dalam keadaan tidak sadar. Tubuhnya dingin dengan wajah pucat bercucuran air mata. Bahkan mulutnya tak bisa berhenti mengucapkan istigfar berkali-kali. Kang asep mencoba menyadarkannya mulai dengan mengguncang-guncangkan tubuhnya, menyiram wajahnya dengan cipratan air, bahkan sampai menampar pipi istrinya itu supaya tersadar.

Mendengar cerita kang Asep, bapak menghela nafas. Entah apa yang harus ia katakan sekarang, tapi bapak tidak meceritakan sedikitpun tentang kejadian ibu yang mengalami terror sama seperti teh Ratih. Setelah berpikir cukup lama, akhirnya bapak berkata kepada kang Asep bahwa dia tidak bisa lagi membantu kang Asep. kondisi ibu yang sakit dijadikan alasan bapak untuk menolak secara halus kang Asep.

“tolong sekali pa, saya bingung. Saya tidak mengerti hal-hal seperti ini, Cuma bapak harapan saya satu-satunya.” Ucap mas asep dengan nada memohon, matanya tampak berkaca-kaca.

Keputusan bapak sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat. Saya mengerti sebenarnya alasan bapak menolak kang Asep. yang awalnya bapak kira hanya niat menolong saja, sekarang imbasnya malah kepada keluarga kami. Mungkin bapak sadar dia terlalu jauh ikut campur urusan orang.

Mas asep tidak bisa memaksa keputusan bapak, akhirnya dia pulang dengan tangan hampa. Dari wajahnya kang Asep tampak kecewa, marah mungkin. Tapi saya tak tahu rasa marah dan kesalnya itu ditujukan untuk siapa. Apa kepada bapak yang tidak bisa membantunya lagi atau pada pelaku santet yang telah mengganggu hidupnya itu, saya tak tahu.

Seminggu berlalu, Sedikit demi sedikit ibu saya mulai pulih, beraktifitas seperti biasa. Tapi sepertinya bapak tidak diberi nafas sedikitpun untuk berleha-leha, baru saja dia pulang sholat magrib dari masjid , kang Asep datang lagi kerumah saya. Kali ini dia menangis, bahkan memeluk bapak saya. Dia memohon-mohon agar bapak mau datang kerumah dan membantu istrinya.

Melihat kelakukan kang Asep yang tidak seperti biasanya, menarik perhatian keluarga saya. Disitu ada ibu dan kedua adik saya yang ikut berkumpul di ruang tamu menyaksikan kang Asep yang menangis. Tak tega saya melihat kang asep, bahkan ketika saya melihat ibu matanya ikut berkaca-kaca.

Setelah merasa tenang, dan minum air putih kang Asep mulai bercerita kepada bapak dan juga mungkin kami yang mendengarkan disana. Seminggu yang lalu setelah pulang dari sini, kang asep bergegas mencari orang pintar. Berdasarkan rekomendasi temannya akhirnya ia mendapatkan seorang paranormal, yang berasal dari luar kota subang. Yang tidak akan saya sebutkan kotanya, demi kebaikan bersama agar tidak ada yang tersinggung.

Menurut kang Asep si paranormal tersebut datang kerumahnya untuk mengobati teh Ratih dan juga memasang pagar ghoib untuk rumah kang asep agar tidak didatangi lagi makhluk-makhluk aneh. Bahkan menurut kang asep dia membeli semacam keris kecil yang maharnya sangat mahal. demi kebaikan keluarganya waktu itu kang asep tidak memikirkan masalah uang, walaupun ia harus mencatut modal usahanya.

Sekedar info mahar itu menurut sepengetahuan saya, adalah harga untuk membeli barang-barang mistis atau semacam benda pusaka. Jadi dalam istilahnya proses pemindah tanganan benda pusaka disebutnya ijab kabul, karena pamali katanya kalau menggunakan istilah jual beli.

Tapi tak ada reaksi, teh ratih tetap saja diganggu. Bahkan kejadian terakhir menurut kang Asep teh ratih hampir saja tewas disumur belakang rumahnya. Sekarang kang Asep benar-benar kebingungan, uangnnya telah menipis dia tak sanggup lagi mencari paranormal untuk membantunya. 

“jadi saya sangat minta tolong sama bapak, saya mohon sekali pak.” Ucap kang asep.

Bapak tampak kebingungan. dia ingin sekali membantu kang asep sepertinya, tapi takut terror kembali berbalik ke keluarga kami. Tidak ada alasan lagi sekarang untuk menolak kang Asep secara halus, bapak masih diam entah apa yang dia pikirkan.

“atau kalau bapak tidak mau membantu, tolong sebutkan saja siapa yang melakukan ini pada keluarga saya pak ? saya akan labrak orang tak tahu diri itu.” Ucap kang Asep tampak geram.

“apa yang terjadi disumur belakang rumahmu sep. yang kamu maksud hampir saja menewaskan istrimu itu ?” entah sedang mengalihkan pembicaraan atau mencari bahan pertimbangan tiba-tiba bapak berkata seperti itu............

---------------------------

S A N T E T PART 3 (TAMAT)

Yang sudah kadung baca part 1 dan part 2 wajib baca part 3. Biar tidak penasaran.. hehe. Baca pelan pelan. Ikuti alur cerita nya. Ceritanya memang panjang tapi seru dan tentunya hororr πŸ™‚ 

----------------------------

“jadi seperti ini kejadiannya pak.”Kang Asep mulai bercerita, semua orang yang ada diruangan itu, saya, ibu dan kedua adik saya mendengarkan dengan seksama.

Menurut kang Asep dua hari kemarin Teh Ratih mulai pulih, entah karena mulai terbiasa atau tidak peduli lagi, sedikit demi sedikit terror yang dihadapi mulai bisa ia atasi. Kini ia tak peduli lagi dengan bayangan hitam yang selalu terlihat diluar rumahnya menjelang malam tiba. Suara wanita yang terus terngiang ditelinganya sudah anggap ia biasa. Bahkan terror itu sudah jarang. Mungkin karena kondisi rumah kang Asep yang selalu ramai, menurut kang Asep ia meminta tetangganya untuk menginap dirumahnya secara bergantian. Sedangkan ibu mertuanya sejak teh Ratih mengalami terror ia memutuskan untuk tinggal disana, walaupun adik iparnya harus bolak-balik mengecek rumah sekedar untuk bersih-bersih atau mengambil baju ganti.

AAAAA



Menurut kang Asep malam itu dirumahnya cukup ramai, ada dua orang perempuan tetangganya yang menginap. Sedangkan kang Asep berjaga dibangku depan rumah ditemani adik iparnya, ketika sedang menikmati segelas kopi dan roko kreteknya, tiba-tiba gerimis turun. Memaksa kang Asep untuk masuk kedalam rumah. Sekitar tengah malam dan gerimis telah berubah menjadi hujan lebat, semua orang sudah terlelap. Kecuali teh Ratih waktu itu yang terbangun karena ingin buang air kecil.

Teh ratih tidur diruang tengah ditemani ibu dan dua orang tetangganya yang menginap disana. Sedangkan kang Asep tidur disofa ruang tamu. Teh ratih mencoba mengguncang-guncangkan pelan tubuh ibunya untuk minta ditemani ke kamar mandi. 

Kang asep ini memiliki kamar mandi yang terpisah dari rumahnya, dan memiliki sebuah sumur sebagai sumber air bersih. Maklum didesa kang asep yang letaknya cukup jauh dari kecamatan atau hampir bisa dibilang sangat pelosok, warganya tidak memiliki akses air bersih yang langsung kerumah-rumah. Ada sebenarnya MCK yang didirikan sebagai pusat air bersih warga, namun sebagian orang lebih memilih cara tradisional untuk mendapatkan air bersih agar tidak bolak-balik mengangkutnya dari MCK, yaitu dengan cara menggali sumur.

Hujan turun sangat deras disertai angin kencang, malas sebenarnya teh ratih harus pergi kebelakang namun kali ini sudah tidak bisa dikompromi lagi. Karena ibunya tak kunjung bangun, ia memutuskan untuk pergi sendiri. Namun tiba-tiba lampu dirumahnya mati, keadaan menjadi gelap gulita. Ia mengambil korek api untuk menyalakan lilin, yang sudah dipersiapkan sebelumnya. karena warga dikampung, termasuk dikampung saya selalu siaga bila hujan tiba untuk menyiapkan lilin apalagi kalau hujannya dibarengi petir yang tak henti-henti.

Teh ratih keluar lewat pintu belakang hanya ditemani cahaya lilin dan payung, tidak kepikiran waktu itu menurut teh ratih akan diganggu hal-hal aneh lagi. Namun ketika membuka pintu kamar mandi samar-samar dalam suara derasnya hujan yang mengguyur atap rumahnya terdengar suara wanita menangis. Teh ratih berhenti sejenak, untuk memastikan bahwa suara itu memang suara orang bukan suara angin ataupun air hujan.

Suara tangisan wanita itu semakin kencang, terdengar begitu lirih seperti orang kesakitan. Dalam hati teh ratih mengutuk, dasar setan sialan tak henti-hentinya menggangguku. Teh ratih mencoba menghiraukan dan langsung masuk ke kamar mandi. tapi lama-kelamaan suara perempuan itu sedikit mengganggu, karena teh ratih sudah geram dengan mengenyampingkan rasa takut dia memberanikan diri untuk mencari arah suara tangisan itu berasal.

Suara tangisan itu berasal dari arah samping. Teh ratih yang baru selesai keluar dari kamar mandi langsung membuka pintu. Sebatas mata memandang hanya kegelapan dan air hujan yang terlihat, teh ratih menengok kekiri dan kekanan tapi tak ada seorangpun terlihat.

“heh sundal, keluar kau !!” tantang teh ratih teriak ditengah malam.

Suara tangisan itu kini semakin jelas, terdengar dari arah sumur milik teh ratih. Teh ratih yang merasa ditantang, dia keluar tak peduli lagi dengan derasnya air yang membasahi tubuhnya.

Teh ratih mendongkak untuk melihat kedasar sumur, dengan susah payah ia mencoba memecingkan mata yang terhalang cucuran air dari rambutnya. Lilinnya sudah tentu padam. Begitu kepala teh ratih mulai mendongkak kebawah suara itu terdengar lebih jelas.

“dasar sundal.” Ucap teh ratih yang kemudian mengambil batu dari samping rumahnya yang ukurannya sebesar helm yang ia angkat dengan susah payah.

byurrr terdengar bunyi yang menggema didalam sumur yang diikuti dengan jeritan suara perempuan. Untuk sejenak suara perempuan itu hilang, teh ratih yang merasa sudah puas mendongkak lagi untuk mengecek didalam sumur. Terlihat sesosok tubuh dengan rambut basah tergerai panjang menggelantung ditali timba sumur. Dalam sekejap keberanian teh ratih luntur dan membuatnya tersentak kaget bukan main.

Tubuh teh ratih lemas tidak berdaya, dia masih terduduk ditanah menyaksikan tali timba yang terus bergerak seperti ada seseorang yang sedang menariknya dari bawah. Teh ratih mencoba berteriak memanggil suaminya, namun suara hujan yang deras telah meredam suaranya. Teh ratih tak sadarkan diri saat melihat sesosok wanita yang hendak menyeret kakinya agar ikut masuk kedalam sumur.

Teh ratih ditemukan dipinggiran bibir sumur dan hampir saja nyemplung kebawah sekitar jam 4 subuh oleh ibunya yang menyadari karena anaknya tidak ada dikasur. Peristiwa itu menggemparkan warga kampung, karena mungkin dua tetangga kang Asep yang malam itu menginap membeberkannya ke warga yang lain. Bahkan menurut kang Asep beberapa warga sampai datang menjenguk juga, karena isu yang berkembang di masyarakat katanya teh ratih mau bunuh diri dengan cara terjun kedalam ke sumur.

Ketika kang Asep menimba air sumur untuk mengisi bak mandinya secara tak sengaja dalam ember air yang ia tarik terdapat bungkusan pocong kecil seperti dulu yang ditemukan kang Asep dibawah batu. Rupanya si pengganggu belum kapok-kapok.

“ini pak ditemukan lagi.” Ucap kang Asep setelah selesai menceritakan peristiwa istrinya sambil menyodorkan pocongan kecil.

Karena bapak tak tega mendengar cerita kang Asep dengan terpaksa dia mau turun tangan lagi, karena menurut bapak ini sudah keterlaluan. Kalau niatnya Cuma ngasih pelajaran mungkin masih bisa ditolerin tapi ini sudah niat mencelakakan. 

Keesokan harinya, sekitar jam 3 sore keluarga saya datang ke rumah kang Asep, saya memakai motor pinjaman dari adik bapa untuk membonceng kedua adik saya. Teh ratih terlihat memprihatinkan ketika kami datang kesana, tubuhnya tampak kurus tinggal tulang yang terbalut kulit. Kehidupannya tak tenang, terror yang terus dialaminya membuat hidupnya berantakan.

Sebelum kami pulang bapak berpesan pada kang Asep, agar jangan membiarkan teh ratih keluar rumah sendirian, si pelaku santet tak berani masuk rumah karena sudah dihalangi pagar ghoib maka dia berusaha mengajak si korban keluar rumah untuk diperdaya.

Keesokan harinya setelah pulang dari rumah kang Asep, saya diajak bapak untuk menemui seorang pria. yang ternyata adalah seorang paranormal cukup terkenal dikampung saya. Jadi dikampung saya itu ada seorang pria tua yang cukup tersohor, banyak orang-orang besar dari kota yang datang kerumahnya

Tidak bisa dipungkiri, percaya atau tidak memang masih banyak orang-orang yang datang ke orang pintar atau paranormal untuk meminta restu agar semua urusannya lancar. Masalah bisnis, pencalonan diri jadi aparatur negara sampai masalah kecil seperti ingin lolos tes cpns banyak dari kita menggunakan jasa mereka atau bahkan datang ke tempat-tempat keramat. Saya tak mengerti apakah ini termasuk menyekutukan tuhan atau tidak tapi begitulah adanya, tapi jangan berpikir bahwa datang ke tempat keramat hanya sebatas yang terlihat di televisi saja bahwa ritualnya menakutkan dan menyeramkan, semuanya terlihat biasa bahkan normal-normal saja.

Saya tidak begitu kenal dengan pria tua ini, karena jarang bergaul dengan warga mungkin karena terlalu sibuk dengan tamu-tamu kotanya itu. Yang pasti seluruh kampung sudah tahu pria tua ini dengan nama yang akan saya samarkan. Aki merah begitu mungkin saya akan menyebutnya karena saat pertama kali melihatnya dia mengenakan baju merah.

Ketika kami datang ki merah sedang asyik memandikan burung perkututnya, kebetulan hari itu tidak ada tamu yang datang kerumahnya. Ketika basa-basi selesai dan kami dipersilahkan masuk, mimik muka bapak yang tadinya ramah kini berubah menjadi serius.

“sudahlah ki, akhiri semuanya.” Ucap bapa pada ki merah.

Entah benar-benar tidak mengerti atau hanya pura-pura ki merah tampak kebingungan dengan ucapan bapak. Dia menatap bapak lekat-lekat dengan penuh rasa curiga.

“kasihan, dia masih muda. Apa pengalaman yang dulu tidak membuat aki belajar.” Seakan tidak peduli dengan mimik muka ki merah, bapak terus melanjutkan ucapannya.

“apa maksudmu ?” ki merah akhirnya merespon.

“entah ada yang menyuruh aki, atau aki sendiri yang punya urusan dengan orang ini. Tolong jangan ganggu dia lagi, saya benar-benar memohon kali ini. Istrinya tampak menderita karena ulah aki.” Bapak masih tetap melanjutkan ucapannya dan tidak menggubris pertanyaan ki merah.

Usai menyampaikan permohonannya bapak mengajak saya untuk pergi meninggalkan ki merah dengan wajah penuh tanda tanya. Sempat terbesit juga dalam benak saya, apa yang sebenarnya sedang dilakukan bapak. Jika pun bapak sudah mengetahui orang yang telah mengganggu keluarga kang Asep, apakah ki merah orangnya apakah bapak tidak salah melemparkan tuduhan tersebut? 

Ingin rasanya saya bertanya tentang ulahnya tadi siang dirumah ki merah, tapi melihat mimik muka bapak yang tidak seperti biasanya membungkam keberanian saya untuk bertanya. Mungkin kita biarkan saja waktu yang akan menjawabnya, saya hanya penonton biasa yang hanya ikut menyimak.

Sore hari sepulang dari rumah ki merah, rumah saya kedatangan tiga tamu. Satu pria dengan kumis lebat mengenakan peci hitam, dan dua pria lagi mengenakan kaos oblong biasa yang dibalut dengan jaket kulit berwarna coklat. Saya tidak mengenal ketiga pria tersebut, yang pasti bukan warga dari kampung saya.

Begitu dipersilahkan masuk, mereka segera duduk. si pria berpeci hitam yang ternyata setelah memperkenalkan diri adalah seorang lurah dari kampung kang Asep.

“ada apa ya pak ?” ucap bapak.

Pak lurah mulai menceritakan kejadian dikampungnya, bahwa kang asep hampir saja membunuh salah satu warganya, untung hal tersebut masih bisa dicegah sehingga tidak ada korban. Kejadian itu berlangsung saat warga terlelap tidur sekitar jam 10 malam, warga yang terbangun karena mendengar suara teriakan minta tolong dari seorang pria.

Lantas setelah kang Asep dan warga yang jadi sasaran kemarahan kang Asep ini dibawa ke balai desa, maka masalah mulai terungkap disana. Kang Asep merasa curiga bahwa pria yang ternyata seorang pegawai perkebunan teh ini menjadi ulah dari guna-guna istrinya. Tadinya pak lurah berniat akan membawa masalah ini ke polisi, tapi takutnya terjadi salah paham maka pria berpeci hitam tersebut bilang kepada bapak bahwa sebelum masalah ini dibawa keranah hukum, ia ingin menyelesaikannya dulu secara kekeluargaan.

“dan saya mendengar bahwa Asep berobat atau konsultasi dengan bapak, apakah bapak yang memberi tahu pelaku guna-guna istrinya itu ?” ucap pak lurah.

Bapak merasa kaget mendengar kabar tersebut, tentu saja dia belum pernah berbicara apapun masalah pelaku ataupun orang yang ada dibelakang santet istrinya. Kenapa kang Asep gegabah bertindak tanpa memberitahu dahulu, kalau begini caranya kang Asep malah menyeret bapak masuk kedalam masalah. Hendak menolong anjing yang terjepit tapi balasan terima kasihnya malah menggigit.

Agar semua beres dan jelas, maka bapak bersedia datang ke kampung kang Asep untuk musyawarah di balai desa menyelesaikan masalahnya. Saya ikut membonceng bapak, sekaligus ingin menjawab rasa penasaran saya apa yang akan terjadi selanjutnya.

Begitu kami sampai, keadaan didalam ruangan balai desa sudah ramai oleh warga, didepan terlihat kang asep yang sedang duduk dikursi kayu disebelah kanan, sedangkan diarah berlawanan tampak seorang pria yang juga duduk dengan wajah gelisah penuh ketakutan. Baru belakangan saya tahu bahwa pria yang hampir saja jadi sasaran amukan kang Asep ini bernama kang Mardi.

Pak lurah mulai membuka musyawarah. Saya duduk bersama warga lainnya, sedangkan bapa berada didepan bersama pak lurah. Suasana dibalai desa ini mirip sekali diruang persidangan, kang Asep sebagai terdakwa, kang Mardi sebagai korban sedangkan pak lurah tampak seperti hakim pengadilan.

“kenapa kamu ingin membunuh mardi ?” tanya pak lurah. 

“karena dia sudah mengguna-guna istri saya, kampret kau mardi !!” teriak kang asep dengan penuh amarah.

“saya tidak melakukan apapun pada istrinya pa lurah, siapa yang bilang bahwa aku pelakunya. Apakah Dia.. dia si dukun sialan itu yang memberitahumu, sehingga timbul fitnah ini.” Kang mardi tak kalah geram sambil menunjuk-nunjuk muka bapak yang masih santai duduk disamping pak lurah.

Jujur saya sedikit tersinggung ketika bapak dikatakan dukun sialan oleh kang mardi. Pertama bapak saya bukan dukun dan tidak membuka praktek, kedua manusia sialan tidak akan mau membantu orang lain apalagi pertolongannya itu bisa membahayakan keluarganya. Mungkin bapak saya bukan malaikat yang seratur persen orang baik dan sempurna, tapi tetap saja saya merasa marah ketika mendengar ucapan kang mardi.
Semua mata tertuju pada pada bapak termasuk pak lurah, tanpa perlu ditanya lagi bapa kemudian membuka mulut.

“sep apa saya pernah mengucapkan satu nama terkait pelaku yang mengguna-guna istrimu ?” 

Kang asep hanya diam tak memberikan jawaban apapun, wajahnya tertunduk mungkin karena malu. Pa lurah mengulang pertanyaan bapak kepada kang Asep untuk mendapatkan jawaban pasti.

“memang tidak pak, tapi si mardi ini kan dulu sempat berhubungan dengan ratih sebelum akhinya saya menikahinya. Lagian tadi malam dia terlihat lewat dirumah saya malam-malam. sudah barang tentu dia pelakunya pak lurah.” Ucap kang asep masih dengan nada geram.

“saya semalam hanya lewat pak lurah, tidak ada maksud apa-apa. Lagian istrimu itu emang bidadari ? masih banyak wanita cantik diluar sana yang bisa saya dapatkan.” Ucap kang mardi yang tak kalah emosi.

Ketika kang mardi mau berkata lagi, kang asep beranjak dari duduknya dan meloncat sambil melayangkan satu pukulan tepat di pipi sebalah kiri kang mardi. Suasana dibalai desa kembali riuh, ada warga yang sibuk menarik kang asep agar tidak berkelahi, namun sebagian lagi bersorak ketawa-ketiwi menyaksikan adegan yang jarang terjadi ini.

Kang mardi yang merasa dirinya dilecehkan karena dipukul dimuka umum merasa marah dan balik ingin menyerang, tentu saja hal ini membuat warga kerepotan memisah dua pria yang sedang dikuasai amarah ini.

Hampir lima belas menit kegaduhan berlangsung, hingga keadaan kondusif kembali. kedua pria yang berkelahi ini kembali duduk tenang dengan kawalan beberapa warga disampingnya, sekedar jaga-jaga agar kerusuhan tidak terulang kembali.

“saya tidak sedikitpun mengganggu istrinya, pak lurah. Memang apa buktinya kalau saya yang melakukan guna-guna itu hah ? lagian saya baru tahu kalau istrinya diguna-guna, pak lurah. Bukankah dari kabar yang saya dengar istrinya mau bunuh diri disumur belakang rumahnya. Lalu sekarang dia marah-marah menuduhku yang tidak-tidak. Apakah ini cara kau saja untuk mencari kambing hitam atas ketidak becusanmu mengurus istri ?” bentak kang mardi yang mungkin merasa emosi karena pukulan kang asep belum ia balas.

AAAAA



Kang asep hendak kembali loncat dan melayangkan pukulan, namun kali ini ada dua orang warga yang menahannya. Begitu juga kang mardi yang kedua tangannya dipegang warga lainnya seperti seorang tahanan.

Pak lurah tampak kebingungan, apa yang harus dia lakukan untuk menyelesaikan pertikaian kedua warganya ini. Setelah berpikir cukup lama, dan membiarkan kang mardi dan kang Asep beradu mulut, akhirnya pak lurah menggebrak meja. Keadaan menjadi hening semua mata tertuju kepada pak lurah.

“begini saja, agar semuanya beres. Kita tak punya bukti bahwa mardi yang menyantet istirnya asep. tapi untuk menghilangkan rasa penasaran asep yang menuduh bahwa mardi pelakunya, mari kita tanya saja ke ahlinya. Orang yang lebih ngerti tentang hal-hal seperti ini.” ucap pak lurah, yang kemudian memalingkan pandangannya kepada bapak saya.

“menurut bapak yang lebih ngerti tentang hal-hal seperti ini. Sebenarnya siapa orang yang telah tega mengguna-guna istrinya si asep ini, apakah mardi orangnya atau ada orang lain ?”

Mendengar pertanyaan pak lurah, mimik muka bapak tampak kebingungan, apa yang harus dia katakan sekarang, Ditambah semua mata warga tertuju padanya. Keadaan hening, semua warga terlihat serius siap-siap mendengarkan ucapan yang akan keluar dari mulut bapak saya, hingga akhirnya bapak menarik nafas dalam-dalam sebelum ia mulai berbicara.

“jika saya memberitahukan siapa pelakunya apa yang akan kalian lakukan ?” tanya bapak saya kepada warga yang berkumpul disana.

“tentu saja kita akan menangkapnya, masalah pengadilan kita tentukan nanti, apa mau kita adili sendiri atau dibawa ke kantor polisi ?” celetuk salah satu warga.

“memang kalian bisa menjamin bahwa ucapan saya benar ? jawab bapak.

“tentu saja bapak kan seorang dukun.” Jawab warga lainnya yang sepertinya tampak semangat.

“baik. Pertama saya sangat tidak nyaman dibilang seorang dukun, karena saya tak membuka praktek. Saya hanya berniat membantu asep, karena kasihan melihat istrinya. Kedua, apa bapak-bapak disini punya bukti penguat bahwa ucapan saya benar ?”

Setiap warga saling berpandangan, wajah mereka nampak kebingungan termasuk juga pak lurah. Tentu saja ucapan bapak benar, jika bapak saya menyebutkan nama baru, sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah, tapi hanya mengalihkan kebencian pada orang baru lainnya.

“jadi apa yang harus kita lakukan sekarang pak lurah ?” ucap warga yang tampak tidak sabar.

Pak lurah masih diam dan belum mengambil keputusan, sementara warga saling berbisik berbicara dibelakang saling bertukar pendapat apa yang seharusnya mereka lakukan. Musyawarah ini berjalan begitu alot, hingga tak terasa adzan magrib terdengar.

Begitu adzan selesai berkumandang, tiba-tiba pak lurah bangun dari duduknya. Bisikan-bisikan dibelakang seketika berhenti, semua mata tertuju kepada pak lurah.

“begini saja, agar cepat beres dan tidak ada lagi kecurigaan. Bagaimana kalau si mardi di sumpah pocong.” Pernyataan pak lurah membuat kaget semua orang.

“bila kamu benar-benar tak bersalah seharusnya tidak keberatan mardi ?” ucap pak lurah menantap kang Mardi, yang kemudian disusul gemuruh suara warga mengiyakan pendapat pak lurah tersebut.

“tentu saja saya tidak keberatan.” Jawab kang mardi dengan sedikit ragu, mungkin dia merasa merinding mendengar nama sumpah yang jarang dilakukan ini.

Akhirnya keputusan pak lurah bisa sedikit meredam rasa kesal warga, termasuk kang Asep mungkin. Setelah itu pak lurah mengumumkan bahwa sumpah akan dilakukan setelah adzan isya di mesjid, kemudian ia memerintahkan beberapa warga untuk menyiapkan apa saja yang dibutuhkan untuk kelangsungan sumpah pocong nanti, seperti kain kapan. Sebenarnya bapak mau berpendapat tapi melihat antusias warga yang begitu semangat, maka bapak memutuskan untuk setuju saja, setidaknya kecurigaan ini tidak berakhir dengan kekerasan.

Saya tidak terlalu paham dengan konsep sumpah pocong, tapi pendapat beberapa orang sumpah ini ada karena percampuran agama dan tradisi budaya ketimuran, khusunya dipulau jawa. Jadi menurut kepercayaan warga setempat, sumpah pocong dilakukan oleh seseorang yang dicurigai berkata bohong, konon bila si pembohong melakukan sumpah pocong maka kesialan atau bahkan bencana bisa menyelimutinya seumur hidup. sumpah ini dianggap bisa menyelesaikan masalah yang tidak bisa diselesaikan dipengadilan. Tapi di era moderenisasi seperti sekarang, rasanya jarang orang yang melakukan cara-cara seperti ini.

Sekitar setengah delapan malam, banyak warga berkumpul dihalaman depan masjid. Mereka penasaran dengan kejadian langka seperti ini, entah bagaimana caranya kabar tentang sumpah pocong ini cepat sekali merebak dikalangan warga.

Kang mardi yang baru selesai dimandikan, kini tubuhnya sedang dibungkus dengan kain kapan, melihat pemandangan seperti itu tentu saja membuat bulu kuduk saya merinding. Setelah tubuh nya selesai diikat dengant tali pocong, tubuh kang mardi dibopong ketengah masjid.

Sumpah siap diucapkan, semua warga menyaksikan dengan tegang. Namun tiba-tiba terdengar teriakan anak kecil dari arah luar.

“kang Asep..Kang Asep….kang Asep.”

semua orang perhatiannya teralihkan kearah pintu pagar masjid. Melihat seorang anak kecil sedang ngos-ngosan memanggil-manggil nama kang Asep. kang mardi yang sedang telentangpun ikut-ikutan bangun hingga membuat orang yang berada didepannya meloncat kaget.

Kang Asep yang merasa dirinya dipanggil langsung menghampiri anak kecil yang ternyata anak tetangganya tersebut sembari bertanya ada apa sebenarnya.

“Teh ratih lari, keluar rumah, ga tahu kenapa, seperti orang kesurupan..” ucap anak kecil dengan nada terbata-bata berusaha mengatur nafasnya.

Tanpa pikir panjang kang Asep segera berlari menuju rumahnya, seketika juga beberapa orang yang berada dimesjid termasuk pak lurah segera menyusul kang Asep meninggalkan kang mardi yang masih duduk kebingungan dalam kondisi tubuh terikat dalam kain kapan. Saya dan bapak juga ikut pergi, sedangkan orang-orang yang berkumpul disana ada yang pulang karena ketakutan, sebagian lagi ada yang pergi menyusul karena rasa penasaran.

Ketika kami sampai dirumah kang Asep, terlihat ibu mertuanya sedang menangis. Menurut mertua kang Asep, ketika teh ratih sedang duduk menonton tv, tiba-tiba ada suara anjing yang menggong-gong keras dan tak henti-henti diluar rumah. Karena ibunya takut dengan anjing, maka teh ratih yang berinisiatif pergi kehalaman untuk mengusirnya, namun selang beberapa menit teh ratih tak juga kembali masuk kedalam rumah.

“lalu ibu pergi keluar untuk menyusulnya, tapi ratih tidak ada. Dan menurut tetangga tadi ratih terlihat berlari sambil memegang batu mengejar anjing hitam kearah barat.” Ucap mertua kang Asep yang kemudian menangis kembali.

Kang Asep yang hendak pergi karena emosi ditahan beberapa warga, kata pak lurah sebaiknya kita melakukan pencarian bersama-sama. Sekitar dua puluh orang yang dipimpin pak lurah siap untuk melakukan pencarian. Sementara bapak mengajak saya pulang setelah berpamitan dengan kang Asep, kata bapak dia akan membantunya dengan cara lain.

“antar bapak kerumah aki merah”. Ucap bapak kepada saya.

Tanpa banyak bertanya saya menarik gas, meluncur menuju rumah ki merah. Sekarang saya merasa yakin mungkin ki merah lah pelakunya, dia telah memanfaatkan kesempatan ketika teh ratih ditinggalkan oleh suaminya untuk melancarkan serangannya lagi.

“memang ki merah itu siapa pak ?” diperjalanan untuk menghilangkan perasaan tegang saya bertanya.

“kamu masih ingat dengan cerita bapak tentang teh Maryah ?” bapak malah balik bertanya.

Menurut bapak ki merah sejak muda memang gemar mengulik ilmu-ilmu kebatinan, waktu itu bapak masih remaja. Masih ingat ketika kang Solihin hampir saja membunuh seorang pria yang diduga menyantet istrinya, menurut bapak orang tersebut adalah ki merah. Memang waktu itu tidak ada bukti yang kuat, tapi berdasarkan desas-desus yang beredar dikalangan warga meyakini bahwa ki merah memang pelakunya.

“bagaimana bapak yakin waktu itu kalau ki merah orangnya ?” saya masih penasaran.

Bapak saya bercerita bahwa kakek sayalah yang memberitahunya, waktu itu kakek saya baru pulang dari sawah malam-malam habis mengairi sawah. Ketika lewat belakang rumah kang solihin samar-samar dalam redupnya lampu bohlam dia melihat sesosok pria sedang menggali tanah. Karena merasa curiga kakek saya bersembunyi dibalik semak-semak mengawasi. Mungkin sekitar lima menit berlalu dan lubang itu telah selesai, pria tersebut mengeluarkan bungkusan kain putih dari sakunya, yang kemudian ia masukan kedalam lubang galian yang baru dibuatnya.

Saat melihat sesosok pria tersebut berbalik badan, dia yakin wajah itu adalah wajah ki merah. Dan keesokan harinya tragedi mengerikan teh maryah terjadi. Kakek saya merasa berdosa juga karena tidak bisa berbuat apa-apa, mengingat bila dia jadi saksipun tanpa bukti yang kuat pengadilan akan tetap tidak percaya.

"kenapa ki merah melakukan itu pada teh maryah pak ?” tanya saya masih penasaran.

Menurut bapak, tak ada yang tahu apa motif dibalik penyantetan teh maryah waktu itu, ada yang bilang dia cemburu karena ki merah menaruh hati sama teh maryah. Ada yang bilang keluarga kang solihin berselisih dengan keluarga ki merah tentang batas kebun mereka. Tapi ada yang bilang juga itu hanya kegilaan ki merah waktu muda yang ingin mencoba ilmu kebatinan yang baru dipelajarinya. Tak ada yang pasti, kabar itu simpang siur. Hanya ki merah sendiri yang tahu alasannya.

Mengerikan kalau yang terakhir menjadi alasan ki merah menyantet orang, gila bener, sikopat akut. Sunngguh merinding saya mendengar ada jenis orang seperti itu dimuka bumi ini. 

“terus kenapa sekarang bapak bisa yakin kalau yang mengguna-guna teh ratih adalah ki merah ?”

Kakek saya pernah bilang kepada bapak, bahwa ilmu seperti ini sangat sulit untuk dikuasai. Hanya satu orang yang ia kenal yang bisa melakukan santet jenis ini, dan satu lagi menurut bapak saya, instuisi dan hasil dari penerawangannya selalu mengarah kepada ki merah.

Tidak terasa dalam obrolan panjang itu akhirnya kami tiba didepan rumah ki merah. Saya kira bapak akan langsung melabrak, marah-marah dan menendang pintu rumahnya. Tapi nyatanya bapak bertamu dengan sopan, dia mengetuk pintu masuk dengan pelan sambil mengucapkan salam.

Istri ki merah menyambut dengan ramah, kami dipersilahkan masuk. Segelas teh hangat dan keripik pisang disajikan sambil menunggu ki merah datang. Setelah bapak dan ki merah duduk berhadap-hadapan, bapak langsung mulai berbicara.

“saya mohon ki, siapapun yang menyuruh aki tolong hentikan. Saya sudah tak tega melihatnya.”

“apa maksudmu ?” jawab ki merah sambil cengengesan.

“sudahlah ki, kita tidak usah berpura-pura lagi.”

Raut wajah ki merah berubah menjadi serius, mungkin dia sudah tak bisa lagi menyepelekan bapak sekarang. Setelah memuji kejelian bapak, ki merah mulai bercerita.

“sebenarnya aku tak mau lagi menggunakan ilmu seperti ini, kau tahu sendiri akibat ulahku dimasa lalu aku sudah dicap jelek oleh masyarakat sini. Dikucilkan, disepelekan bahkan dipandang kriminal. Mereka hanya bisa menghakimi tanpa pernah tahu alasanku melakukannya dulu.” Ucap ki merah.

“ada seorang pria umurnya mungkin sama denganku, dia mendatangiku malam-malam dan menceritakan masalahnya dengan gamblang, aku tak tega mendengarnya. Setelah mendengar ceritanya itu aku merasa menjadi diriku yang dulu, dia memiliki nasib sama sepertiku. Iblis dalam diriku muncul kembali, hingga aku mengiyakan permintaanya.” Lanjut ki merah.

“memang apa yang pria itu ceritakan ? apa dia punya masalah dengan keluarga si Asep. saya ingin mendengar alasannya ?” bapak bertanya.

ketika hendak berbicara ki merah mengajak bapak saya keruangannya, kata dia sebaiknya ini dibicarakan empat mata saja, sial padahal saya sangat penasaran. Sementara bapak pergi kedalam dengan ki merah, saya menuggu diruang tamu sambil ngemil keripik pisang. Saya kira ki merah bakal seperti di film-film horror, bengis dan juga congkak, tapi sikapnya sama saja seperti orang pada umumnya. Malah bisa dibilang ramah, apalagi istrinya yang sudah menyajikan cemilan ini.

Mungkin sekitar lima belas menit berlalu, bapak saya kembali bersama ki merah. Mereka langsung duduk dikursi seperti semula. Terlihat ada ketegangan diwajah mereka, apa yang sebenarnya telah terjadi ? apa didalam tadi mereka bertengkar.

“jadi kalau bukan aki, apa ada orang lain ?” bapak mulai berbicara.

“aku mengaku memang sudah mengganggu keluarga si Asep, tapi sasaranku memanglah si Asep itu sendiri bukan istrinya. Malam itu aku mengirim dua demit untuk membawa jiwa si Asep, hanya untuk memberi pelajaran, aku bersumpah tidak ada sedikitpun niat untuk membunuhnya. Tapi yang kena malah istrinya, Karena terlanjut sudah terjadi, aku pikir bila istrinya menderita maka si Asep juga akan merana. Aku juga yang mengirim peliharaanku untuk menghalang-halangimu saat kamu hendak pergi membantu si Asep.” jawab ki merah.

Saya tiba-tiba jadi teringat kejadian dikebun teh, saat anjing hitam yang mau menerkam bapak. Jadi itu memang benar ulahnya ki merah.

“dan aki juga yang hendak berniat mencelakakan keluarga saya saat saya berhasil menyadarkan kembali si ratih ?” nada bapak mulai naik.

“aku memang mengirim peliharaanku untuk mengawasimu tapi tidak memerintahkannya untuk mengganggumu.”

“istri saya diterror ki, sampai dia jatuh sakit.”

“aku bersumpah demi apapun, hanya memerintahkan peliharaanku untuk mengawasimu, bukan untuk mengganggumu. Aku mengawasimu hanya karena kagum padamu, soalnya orang biasa sepertimu bisa melakukan upacara jemput lelembut. Usiamu terlalu muda untuk menguasai ilmu semacam itu.” Ucap ki merah, 
entah sebuah kebenaran atau ini hanya pembelaannya saja, saya tidak tahu.

Kemudian bapak menyuruh saya untuk menceritakan apa yang dialami ibu. Saya bercerita kepada ki merah tentang ibu yang melihat sosok wanita di kamar mandi, dan sosok lainnya yang menjelma menjadi teman ibu yang sudah meninggal.

“baiklah saya akan mempercayai aki kali ini, tapi saya mohon beritahu kemana aki membawa lagi ratih sekarang ?” 

“apa maksudmu membawa lagi ratih ?” ki merah tampak terkejut.

Ki merah malam itu memang memerintahkan peliharaanya untuk mendatangi rumah kang Asep tapi untuk mengambil pocongan yang telah ia tanam dihalaman rumah. Dia tersadar bahwa perbuatannya salah, karena setelah melakukan perbuatan keji itu lagi, dia selalu dihantui bayang-bayang teh maryah. 

“setiap malam, wajah maryah selalu menghantuiku. Saat tidur dia masuk dalam mimpiku, saat sedang diam dia masuk dalam ingatan, dan saat aku bekerjapun dia menyusup dalam bayang-bayang. Kini aku sadar ternyata balas dendam tak membuahkan kepuasaan tapi malah penyesalan.” Ucap ki merah.

Walaupun harus mengecewakan kliennya itu, ki merah mengambil resiko. Dia mengembalikan uang yang telah diberikan, walaupun niat awal ki merah membantu bukan karena uangnnya tapi lebih kepada alasannya. Kita tentu selalu ingat jika ada orang yang bernasib sama, kita seakan memiliki ikatan emosiol dengan orang tersebut, hingga kemudian menimbulkan rasa empati seperti mengkasihani diri sendiri.

Malam itu ki merah mengaku , dia telah berhenti urusannya dengan klien dan keluarga kang Asep. tidak ada lagi permainan, tidak ada lagi gangguan. Bahkan dia menyesal telah belajar ilmu seperti itu. Entah benar atau tidak ucapan yang dikatan ki merah itu, tapi dilihat dari wajahnya tampak sekali penyesalan yang sangat dalam. Kadang saya merasa kasihan, mungkin seumur hidupnya ki merah menderita dibayang-bayangin dosa masa lalunya.

“jadi anjing hitam yang dikejar ratih itu bukan atas perintah aki ?”

“sudah kubilang, aku hanya memerintahkan peliharaanku untuk mengambil benda yang aku tanam, bukan untuk mengganggunya. Tapi kalau dia menggong-gong dan sekarang dikejar oleh istri si asep, aku tak tahu.” Jawab ki merah.

“Sosok seperti apa yang ibumu lihat ?” tanya ki merah kepadaku.

“Astagfiruloh”. Belum sempat aku menjawab pertanyaan ki merah, bapak sudah memotong.

Tiba-tiba saja bapak teringat dengan sosok wanita yang teh ratih lihat ketika bapak melakukan jemput lelembut. Deskripsi yang ibu sebutkan tentang sosok wanita tersebut sama persis dengan yang teh ratih ceritakan sebelumnya. bapak menepuk jidat, katanya jangan-jangan dia melakukan kesalahan. Bapak bilang mungkin ada arwah yang ikut dan menempel ke tubuh teh ratih saat dia diajak keluar.

Karena takut terjadi sesuatu dengan teh ratih, usai berbincang dengan ki merah bapak berpamitan untuk kembali kerumah kang Asep. bapak mengerti ki merah tidak mau lagi terlibat dengan urusan seperti ini, walaupun masih tanggung jawabnya karena telah memulai kekacauan ini. Ki merah meminta tolong kepada bapak untuk menyelesaikan masalah ini, dia siap untuk dimintai bantuan bila bapak membutuhkannya. tapi kalau harus terlibat secara langsung seperti sekarang, dia takut hanya akan menimbulkan masalah baru saja.

Saya dan bapak pergi kembali kerumah kang Asep, sesampainya disana dirumah kang Asep hanya ada ibu mertua dan adik iparnya saja. menurut adik iparnya, teh ratih masih belum ketemu, warga yang dipimpin pak lurah masih berusaha mencari. Terakhir katanya teh ratih terlihat pergi kearah pesawahan. Saya dan bapak segera menyusul setelah meminjam senter.

Suasana kampung benar-benar sepi, tapi untungnnya tidak terlalu gelap karena dilangit bulan terlihat sempurna. Dibawah bayang-bayang bulan yang terhalang pohon-pohon besar yang menjulang, saya dan bapak berjalan perlahan sambil mengarahkan senter kesemak-semak. Kami berniat menyusul rombongan pak lurah ke arah sawah.

Begitu kami keluar kampung dan berjalan menuju pesawahan, terdengar lolongan anjing dari kejauhan. Saya dan bapak saling berpandangan, dari mana suara anjing itu berasal. Lolongan itu terdengar sekitar tiga kali, kemudian lenyap bersama angin malam.

“kenapa rombongan pak lurah tidak terlihat juga pak ?” 

Bapak tidak menjawab pertanyaanku, mulutnya tampak komat-kamit, mungkin sedang melafalkan doa. Saya tidak bisa mengganggunya kalau bapak sedang begitu. Saya berkonsentrasi untuk berjalan dipematang sawah yang licin, angin sepoi-sepoi membuat bulu kuduk merinding. Pemandangan disekitar hanya terlihat beberapa orang-orangan sawah yang dipasang petani untuk mengusir burung, tapi jujur dalam samar-samar cahaya bulan sosok orang-orangan sawah yang tertiup angin tampak seperti manusia yang melambai-lambai dari kejauhan.

“ikut bapa jang.” Ucap bapa tiba-tiba.

Setelah kami berjalan cukup lama dan belum bertemu juga dengan rombongan pak lurah, saya berjalan mengikuti bapak menuju sebuah saung kecil ditengah sawah. Saya kira bapak hendak mengajak saya beristirahat, tapi begitu kami sampai beberapa meter lagi dari saung, terdengar suara lengkingan anjing yang amat lirih dan pelan. 

Bapak mengarahkan senter kearah saung, tapi tidak terlihat apapun disana. Kami berjalan pelan sambil terus memperhatikan. Begitu cahaya senter bapak menyorot kearah kolong saung terlihat sesosok tubuh dengan rambut tergerai sedang jongkok membelakangi kami berdua. bapak mematikan lampu senternya, kami berdua jongkok sambil jalan perlahan. Rupanya sosok itu belum sadar dengan kedatangan kami berdua.

Saya mengira mungkin itu semacam makhluk jejadian yang baru keluar malam-malam. Maklum ini sudah mapir jam 10. atau mungkin itu arwah yang kebetulan sekelebat kami lihat, tapi begitu saya mendongkakan kepala, sosok itu masih terlihat disana. 

Saya dan bapak masih tetap mengawasi, perlahan sosok itu merayap dari luar, kakinya nampak sedang menjepit sesuatu. Tapi begitu kami memperhatikan dengan seksama, tiba-tiba kepalanya berputar pelan, hingga akhirnya kami saling bertatapan.

Itu teh ratih dengan wajah menyeramkan, matanya melotot tajam kearah kami. karena sudah ketahuan kami beranjak berdiri. Tapi teh ratih masih jongkok, kakinya menjepit kepala anjing hitam. Terlihat baju daster yang ia kenakan robek dan ada bercak-bercak darah, di pahanya pun terlihat luka gores bekas cakaran kuku anjing. 

“lepaskan anjing itu ratih.” Perintah bapak.

Namun teh ratih tidak menjawab, dia malah meludah kearah bapak. Kemudian teh ratih mengambil batu seukuran mangkok disampingnnya, dengan sekali ayunan keatas batu tersebut ia hantamkan ke kepala anjing yang ia jepit. Crattt ! seketika darah muncrat kemana-mana, wajah pucat teh ratih kini telah berlumur merah. Anjing itu tak langsung mati, masih terdengar nafasnya yang tersengal-sengal karena tenggorokannya terjepit. Hantaman kedua, ketiga terus diluncurkan, sampai terdengar suara remukan tulang. 

Kepala anjing itu kini hancur berantakan, bahkan biji matanya terlepas keluar. Mulut moncongnya kini sudah tak berbentuk lagi. Giginya berserakan dengan daging gusi yang masih menempel. Sungguh saya syok melihat kejadian sadis tersebut didepan mata.

Walaupun wajah anjing itu sudah hancur, tapi teh ratih masih belum berhenti menghantamnya dengan batu. Saya dan bapak hanya berdoa melihat kelakuannya, sebenarnya kami hendak mencegah, tapi kalau salah malah kamilah yang akan menjadi sasaran hantaman batu selanjutnya.

Bukan hanya wajahnya, rambut teh ratih yang tergerai telah bercampur dengan cipratan darah, dan ceceran daging kecil yang menempel. Tidak tampak penyesalan diwajahnya, tapi sebaliknya dia tampak geram. Saya yang ketakutan kemudian mundur beberapa langkah, sedangkan bapak semakin maju mendekati teh ratih.

“hentikan ratih.” Perintah bapak.

Mendengar suara bapak perhatian teh ratih pada bangkai anjing itu teralihkan. Dengan batu yang masih ditangan sekarang teh ratih menatap bapak lekat-lekat. Tanpa pemberitahuan dahulu teh ratih langsung melemparkan batu ditangannya kearah bapak, melesat begitu cepat seperti batu itu terbuat dari busa, entah apa yang merasukinya hingga kekuatannya berlipat ganda.

Walaupun sempat menghindar, tapi lemparannya telak mengenai lutut kanan. Bapak saya jatuh terperosok dalam lumpur sawah. saya replek langsung mengampiri bapak, rasa takut pada teh ratih tiba-tiba saja hilang seketika, sungguh saya geram dan hendak membalas dendam dengan melemparkan kembali batu itu kapadanya.

Belum sempat saya membalas, teh ratih loncat kearah tiang penyangga saung. Dalam sekejap ia naik seperti monyet menuju atap. Menyaksikan semua itu, membuat tubuh saya mati rasa, ingin rasanya lari dan berteriak karena ketakutan, tapi yang terjadi lutut saya malah lemas dan tenggorokan saya terasa kosong taka da suara.

Teh ratih jongkok diatas atap saung, dengan rambut tergerai panjang dan muka berlumuran darah. Disinari cahaya bulan diatasnya, dia tertawa ngikik seperti kuntilanak. 

“lihat merah, peliharaanmu sudah aku musnahkan, sebagai ganjaran karena tidak bisa menyelesaikan permintaan.” Kepala teh ratih mendongkak kelangit, kemudian ia tertawa ngikik lagi.

Untuk sesaat saya diam memaku menyaksikan kejadian mengerikan itu, hingga akhirnya saya tersadar dan segera menolong bapak yang masih berusaha berdiri sambil menahan sakit. luka dilutut bapak tidak terlalu parah, tampak darah segar mengucur dan dagingnya sedikit terkelupas.

Teh ratih kembali memperhatikan kami berdua, raut wajahnya berubah menjadi serius. “ jangan pernah ganggu urusanku, atau kuhancurkan kepalamu seperti anjing itu!!”.

Kemudian teh ratih meloncat ke pematang sawah, dia merayap dengan cepat seperti kadal. Entah akan pergi kemana, tapi dia pergi tanpa memperhatikan kami lagi. Dari kejauhan dia seperti tenggelam dalam kegelapan, suara gemuruh daun padi yang ditiup angin menjadi suara pengiring kepergian teh ratih, dan lambaian orang-orangan sawah seperti ucapan selamat tinggal.

Kalau saja kaki bapak sehat mungkin dia akan mengejarnya. Dengan luka yang masih menganga, saya membopong bapak kembali ke rumah kang Asep, katanya kita harus lapor pak lurah sebelum terjadi hal-hal yang lebih mengerikan pada teh ratih. Entah apa maksudnya dengan hal yang lebih mengerikan, karena saya tak bisa lagi membayangkan hal yang lebih mengerikan dari melihat pecahan kepala anjing didepan mata.

Saya tiba dirumah kang Asep, ternyata rombongan pak lurah sudah berkumpul disana. bapak menceritakan kejadian yang kami alami barusan kepada mereka. Setelah mencuci luka bapa dengan air hangat dan membungkusnya dengan kain, kami duduk dihalaman depan bermusyawarah mengenai tindakan yang akan selanjutnya dilakukan.

“sep, kalau kamu benar-benar sayang sama istrimu sebaiknya kamu berkata jujur. Apakah kamu punya urusan atau masalah dengan seseorang ?” tanya bapak kepada kang asep.

“urusan apa pak ? saya tetap curiga dengan si mardi. Dia pasti pelakunya.” Ucap kang Asep dengan nada marah.

“bukan, urusan dengan perempuan. seseorang yang sudah meninggal ?” lanjut bapak.

“perempuan, sudah meninggal.” Kang Asep berpikir sejenak, menyaring ingatan dengan kata kunci urusan, perempuan dan meninggal.

“seingat saya, saya tak pernah menyakiti orang pak” jawab kang Asep.

“tidak menyakiti menurut kita belum tentu untuk orang lain. Kadang kita melakukan hal yang kita anggap biasa saja, tapi menurut orang itu menyakitkan. Coba diingat-ingat”

Semua orang disana memperhatikan wajah kang asep yang kebingungan, dia sedang berusaha mengingat kesalahan yang mungkin saja telah diperbuatnya. Tapi sepertinya sekeras apapun dia mencoba mengingat, memori itu belum ia dapatkan.

Ketika kami sedang berkumpul, tibat-tiba dari arah jalan terlihat seorang laki-laki tengah berlari menuju ke arah kami.
“pak lurah…pak lurah.. saya lihat ratih.” Teriak pria tersebut.

Kami semua kaget, terutama kang asep. warga langsung mengerumuni pria yang baru datang tersebut seraya bertanya apa maksud dari ucapannya. Saya tidak medengar dengan jelas karena sedang duduk bersama bapak tidak menghampiri. Tapi yang pasti warga termasuk pak lurah dan kang asep pergi mengikuti pria tersebut. Saya yang masih belum paham situasinya, diajak bapak untuk mengikuti mereka dari belakang.

Cukup lama saya dan bapak mengikuti rombongan, kami tiba disebuah kebun jagung, diujung sana ada satu rumah yang tampak mencolok. disinari lampu warna kuning dihalaman depannya tampak kontras ditengah kegelapan, karena tidak ada lagi rumah lain disekitarnya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi tampak pria yang menuntun kami sedari tadi menunjuk-nunjuk rumah tersebut.

Semakin kami berjalan mendekati rumah itu, samar-samar terdengar suara tangisan perempuan. semakin kami dekat lagi, suara itu semakin terdengar jelas. Dan menurut kang Asep itu adalah suara tangisan teh ratih. Saya tak tahu rumah siapa itu, tapi begitu kami mendekat, kang asep berlari dengan segera disusul oleh beberapa warga.

Saya dan bapak masih berjalan pelan dibelakang, tapi begitu pintu rumah yang kami tuju dibuka, beberapa warga sontak berteriak karena kaget. Karena saya penasaran, saya berlari melihat apa yang terjadi, meninggalkan bapak sendirian. 

Kaget bukan kepalang, sesosok tubuh pria tergantung dipintu kamar. Lehernya terikat seutas tali, mungkin pria itu bunuh diri. Jika kamu pernah melihat orang gantung diri, itu akan menjadi memori yang membekas dikepala seumur hidupmu. Wajahnya melotot dengan lidah terjulur, seperti ekspresi orang yang menahan sakit luar biasa.

Pria itu sudah tua mungkin umurnya sekitar lima puluh atau enam puluhan, mengenakan kaos oblong dan celana pendek, wajahnya terlihat biru dengan urat diwajahnya tampak jelas. Dan yang bikin lebih mencengangkan lagi, dibawah jasad yang tergantung itu terlihat teh ratih sedang menangis meraung-raung sambil memegang kaki si mayat.

“ratih..ratih apa yang kamu lakukan ?” ucap kang Asep, tapi dia tak berani mendekatinya.

Beberapa warga kebingungan termasuk saya, apa hubungan dari kejadian teh ratih dengan mayat yang tergantung ini. Sedangkan pak lurah langsung sibuk memerintah beberapa warganya untuk menghubungi rekan-rekannya, seperti ketua rt dan rw karena ada kejadian yang menggemparkan ini.

Mendengar teriakan kang Asep dan warga, teh ratih langsung berbalik badan. Dengan pipi dipenuhi air mata dia berteriak sekencang-kencangnnya sampai kami menutup telinga.

“Bangsaatt kau Asep, baikt !!” teriak teh ratih.

Beberapa warga mencoba menghampiri teh ratih untuk menenangkan, tapi belum sempat mendekat teh ratih berlari kearah dapur dan mengambil parang yang terselip di dinding bilik rumah.

“Kubunuh kalian semua hah.. setannn!!! Kubunuh kalian!!” teriak teh ratih sambil mengacung-ngacungkan parang.

Malam itu benar-benar membuat warga kampung kang Asep gempar. Tidak begitu lama para aparat desa bermunculan, diikuti beberapa warga baru yang mungkin penasaran. Sedangkan teh ratih masih mengamuk dibelakang rumah.

Setelah saya bertanya-tanya mengenai asal-usul jasad yang tergantung itu ternyata namanya adalah pak bulbul. Saya tak menanyakan lebih lanjut bagaimana riwayatnya sampai bisa dia nekat mengakhiri hidupnya.

“Turunkan saja, kasihan pak lurah.” Celetuk salah satu warga sambil menunjuk kearah jasad pa bulbul.

“waduhh saya bingung, ini harus lapor polisi dulu atau langsung diturunkan saja mayatnya.” Ucap pak lurah sambil garuk-garuk kepala. Mungkin ini kejadian untuk pertama kalinya ia alami selama menjabat jadi kepala desa.

Sedangkan bapak dan saya pergi kebelakang rumah untuk melihat teh ratih yang masih mengamuk. Kali ini teh ratih benar-benar sulit untuk ditenangkan, dengan jalan yang masih tertatih-tatih bapak maju kedepan, berhadap-hadapan langsung dengan teh ratih sementara warga yang lain menyaksikan dibelakang.

“katakan siapa dirimu dan apa yang kamu inginkan ?”

“tanya si keparat itu siapa aku.” Jawab teh ratih seraya menunjuk kang Asep.

“bisa kamu letakan dulu parangnya, kita omongkan ini baik-baik.” Kata bapak.

“ hah, apa kau bilang, Baik-baik? sementara bapaku mati gara-gara dia kamu bilang kita harus bicara baik.baik.”kata teh ratih dengan nada geram.

Ketika kami sedang bernegoisasi, dari kejauhan tampak seorang pria tengah berlari. Samar-samar aku mengenal sosok itu, dan ketika semakin mendekat saya jadi semakin yakin bahwa pria itu adalah ki merah.

“Iblis jahanam, kau membunuh peliharaanku. Keluar kau dari tubuh wanita itu hadapi aku.” Teriak ki merah dengan nada marah.

Malam itu benar-benar gempar, teh ratih yang dihadapi dua pria, bapak dan ki merah disaksikan warga kampung. Sedangkan pak lurah beserta aparaturnya sibuk mengurus mayat pak bulbul.

“kau juga ikut andil dalam kematian bapakku dukun sialan.” Ucap teh ratih ketika melihat ki merah.

Tanpa basa-basi teh ratih meloncat ke arah ki merah sembari menyabetkan parang yang dipegangnya. Untung ki merah mengelak dengan gesit, tapi teh ratih tambah kesal dan melancarkan serangan membabi buta. Dan diantara sabetannya yang bertubi-tubi itu akhirnya telak satu sabetan berhasil menghujam beberapa jari ki merah.

Cratt!! Darah muncrat ke tanah, diikuti 3 potong jari yang terlepas dari tangan ki merah. Begitu ki merah tersungkur dan teh ratih hendak meluncurkan sabetan selanjutnya yang mengarah ke kepala, bapa melepaskan tendangan ke tubuh teh ratih hingga ia terpental jauh.

Teh ratih tambah geram, dia segera bangun dan langsung menyerang bapak dengan mengibas-ngibaskan parangnnya tanpa arah tujuan. Tapi belum sempat parang itu mendekati bapa, kini tendangan ki merah telak membuat tubuh teh ratih terpental kembali.

Mungkin karena tak tega melihat istrinya jadi bulan-bulanan kedua pria, kang Asep maju kedepan. Tiba-tiba saja tubuhnya ambruk, kang asep bersujud didepan teh ratih. Dia menangis sembari beberapa kali mengucapkan kata maaf.

“maafkan saya sari, maafkan.”

Mendengar ucapan kang Asep membuat saya sedikit kaget, apa yang sebenarnya terjadi. Tapi raut wajah beberapa warga tampak biasa, seperti sudah mengetahui ada hal diantara kang Asep dengan sosok yang masuk dalam tubuh teh ratih tersebut.

“apa kau bilang maaf? apa kata maaf bisa membayar semuanya.” Ucap teh ratih yang sudah sedikit tenang.

“apa yang kau inginkan sari, apa yang harus aku lakukan untuk menebusnya.”

Ketika teh ratih hendak mengayunkan parangnnya untuk menebas leher kang Asep. tiba-tiba ki merah meloncat menerkam tubuh teh ratih. Kemudian ki merah berteriak meminta bantuan warga untuk memegang teh ratih. Singkat cerita, teh ratih kini terikat pada pohon, walaupun tubuhnya terus meronta-ronta tapi ia tak kuasa membuka ikatan tali yang sangat kencang.

Saya kemudian membopong bapak kebelakang, tampaknya dia sudah lelah dan luka dilututnya kembali berdarah. Ki merah langsung mengambil alih dan melakukan pengusiran.

Ki merah mempunyai caranya sendiri untuk melawan sosok yang ada dalam tubuh teh ratih. Upacara pengusiran itu berjalan begitu alot, beberapa kali terdengar jerit kesakitan dari teh ratih, dan wajah ki merah dibanjiri keringat, belum lagi tangannya yang terus mengeluarkan darah.

Hinga akhirnya tubuh teh ratih tergolek lemas, sedangkan ki merah ambruk karena kehabisan tenaga. Teh ratih digendong untuk dibawa kerumah oleh kang Asep dan beberapa warga, sedangkan ki merah yang ambruk dibawa kerumah pak lurah untuk dimintai keterangan. Dan tubuh pak bul-bul yang masih membuat saya penasaran itu kini telah diturunkan, rencananya pak bul-bul akan dibawa ke rumah rt setempat untuk dikuburkan dengan layak.

Terdengar suara tahrim sebagai penanda tragedi mengerikan itu berakhir, semua warga kembali kerumahnya masing-masing. Saya dan bapak juga bersiap-siap untuk pulang, tapi begitu saya menengok kebelakang untuk melihat rumah pak bul-bul yang sudah sepi, saya melihat sosok perempuan yang sedang menangis dilawang pintu masuk, entah siapa perempuan itu karena wajahnya tertutup rambut. Perempuan itu menangis lirih, begitu saya bilang apa yang saya lihat kepada bapak. Bapak hanya berucap.

“biarkan dia sendiri jang.”

Malam itu malam terpanjang yang pernah saya lalui dalam hidup. begitu banyak darah yang terciprat, begitu banyak teriakan yang menyakitkan telinga, begitu banyak misteri yang belum saya mengerti.

Waktu terus berjalan menghapus kenangan lama dengan kenangan baru. Namun salah satu diantara kenangan-kenangan itu akan ada salah satu yang membekas dan menjadi penghuni tetap dalam ingatanmu.

Sore itu saya sedang duduk diteras rumah bersama bapak, menatap lembayung sore yang terlukis dilangit sembari menikmati kopi hitam buatan ibu. Mungkin inilah waktu yang tepat untuk mengutarakan sebuah pertanyaan yang ingin saya ajukan sedari dulu.

“ pak sebenarnya apa yang dikatakan ki merah diruangannya kepada bapak ketika kita datang kerumahnya malam itu?” lalu bapak mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan saya.

Alkisah.... beberapa tahun yang lalu....

Sekitar jam 9 malam, tiba-tiba terdengar suara ketukan. Ki merah yang sedang tertidurpun tersadar, dan segera membuka pintu. Terlihat sosok seorang lelaki tua sekitar umur lima puluhan atau enam puluhan berdiri diluar. Raut wajahnya tampak lelah, dengan suara yang berat pria tersebut mulai berbicara.

“4 tahun yang lalu saya memiliki seorang anak gadis, dia anak yang baik dan juga penurut. Seperti remaja pada umumnya Setelah lulus sma dia ingin pergi kerja ke kota. Datanglah seorang pemuda yang menawari pekerjaan, anak saya sangat antusias ketika ditawari kerja, begitu pula dengan saya yang juga ikut senang bila anak saya senang.” Ucap pria tersebut kepada ki merah.

“Akhirnya anak saya bekerja, walaupun bukan dikantoran, hanya disebuah restoran tapi bagi anak saya itu tidak apa-apa. Aki masih ingat dengan pemuda yang telah berjasa mencarikan pekerjaan untuk anak saya? ternyata dia memendam perasaan pada anak saya. Setiap pulang dari kota pemuda itu selalu mengantarnya, semua hal dia lakukan selayaknya seorang pemuda yang sedang kasmaran untuk menarik perhatian.” Lanjut pria tua tersebut.

“tapi saya tak menyangka, ternyata anak saya tak membalas perasaan pemuda tersebut. Karena anak saya memiliki perasaan pada lelaki lain, yang ternyata adalah temannya ditempat kerja. hingga akhirnya saya menyuruh pemuda yang anak saya taksir tersebut untuk datang melamar kerumah.”

“terus?” ki merah tampak semakin penasaran.

“acara pertunangan telah dilakukan, saya dan pihak keluarga kekasih anak saya telah merencanakan tanggal pernikahan. Namun seminggu setelah pertunangan, kekasih anak saya datang kembali, dia hendak membatalkan pernikahan, saya tak tahu alasannya. Tentu saja hal tersebut membuat anak saya sakit hati, dan yang lebih menyakitkan bagi saya adalah kabar ini sudah menyebar kepada warga kampung, anak saya tak mau keluar rumah karena dia malu bertemu dengan orang. Tekanan dari omongan orang-orang dan sakit hati karena telah dicampakan tak bisa lagi ditahan oleh anak saya, hingga akhirnya ketika saya pulang dari sawah.” pria tua itu mengeluarkan air mata, seperti tercekak ditenggorokannya dia menahan omongannya.

“jasad anak saya sudah tergantung.” Seperti mengingat kenangan lama, pria tua itu kini menangis tak bisa lagi menahan emosinya.

“seminggu setelah kematian anak saya, seorang pemuda datang untuk meminta maaf. Katanya dia tak menyangka perbuatan isengnnya akan berakhir seperti ini.”

“siapa pemuda itu?” tanya ki merah

“pemuda yang cintanya ditolak sama anak saya itu ki, awalnya saya tak terima dan sangat marah sekali. Tapi saya berpikir ulang, mungkin ini sudah kehendak tuhan. Saya memaafkannya walaupun dengan berat hati.”

“lalu apa tujuanmu datang kemari?” tanya ki merah lagi.

“ walaupun saya sudah memaafkan dan mencoba melupakan, namun nyatanya tidak dengan orang-orang. Mereka terus membicarakan dan membuat dugaan-dugaan yang tak berdasar. Kabar kematian dan gagalnya pernikahan anak saya seperti sebuah cerita legenda yang terus menyebar dari mulut-kemulut dengan bumbu yang luar biasa pedas. Ada yang menuduh bahwa pernikahan anak saya batal karena calon suaminya sudah memiliki istri, ada yang menuduh bahwa anak saya Cuma korban birahi lelaki kota saja, dan segudang dugaan-dugaan lainnya yang mereka ciptakan dengan dasar imajinasi.”

“saya sudah tidak tahan lagi ki, selama tiga tahun hidup dengan lirikan dan tuduhan orang. Hingga rasa dendam yang sudah saya coba kubur dalam-dalam ini ternyata tak bisa saya sembunyikan lagi. Saya ingin pemuda itu merasakan apa yang anak saya rasakan, bahkan sampai mati.” Lanjut pria tua itu.

“siapa yang memberitahumu bahwa aku bisa membantumu ?” tanya ki merah lagi.

“waktu saya masih muda, kisah aki dan keluarga maryah sampai ke kampung saya ki.”

“ohh, jadi kabar kalau aku menyantet maryah telah menyebar kemana-mana.” Ucap ki merah dengan wajah terlihat kesal.

“seperti yang sudah saya bilang ki, kabar buruk seperti legenda yang akan disebarkan dari mulut-ke mulut oleh orang-orang.”

“mereka tak penah tahu alasanku melakukan itu kepada maryah, hanya melemparkan tuduhan yang tak berdasarkan seperti yang kau ucapkan. Sama seperti tuduhan yang mereka arahkan kepada anakmu.”

“saya tak punya alasan lagi untuk hidup ki. Usia saya sudah tua, penerus saya sudah lebih dulu pergi ke surga. saya ingin mati dengan tenang tanpa harus menyimpan rasa dendam.”

Malam itu sebuah kesepakatan terjadi, ki merah bersedia membantu. Walaupun pria tua tersebut menyerahkan sejumlah uang yang ia bungkus dalam amplop coklat. Tapi lebih dari sekedar imbalan ki merah mempunyai motivasi lain dibalik semua itu.

“siapa nama pria itu ?” tanya ki merah.

“Asep ki.”

Begitulah jawaban yang bapak berikan sore itu, terdengar seperti sebuah dongeng untuk cerita nyata yang pernah terjadi. Saya tak tahu lagi kabar kang Asep setelah istrinya sembuh seperti apa, terakhir dia datang kerumah hanya mengucapkan terima kasih sambil membawa sekeranjang buah. Sementara kabar ki merah semenjak kejadian itu citranya semakin buruk di masyarakat, dan sudah jarang tamu yang datang dari kota kerumahnya. 

Arwah wanita yang saya lihat pas kejadian dirumah pak bulbul entah bagaimana nasibnya, apa dia telah pergi kealam baka, atau masih penasaran dan berkeliaran. Atau jangan-jangan dia sedang menunggu waktu yang tepat untuk kembali melampiaskan dendam, saya tak pernah tahu. Dunia pergaiban tentu saja berada diluar kuasa dan pengetahuan saya.

Bapak selalu bilang sejarah hidup seseorang akan selalu terulang entah kepada dirinya, keturunannya atau pada orang disekitarnya. Mungkin saya bisa belajar dari pengalaman hidup yang pernah saya lalui ini, tapi saya tak mengerti bagian mana yang harus saya pelajari, maka saya memutuskan untuk bertanya kepada bapak.

“pak apa pelajaran hidup yang bisa saya ambil dari kejadian ini ?”

Seperti sifat bapak yang tak mau menggurui, dia bukan menjawabnya secara langsung tapi malah dengan sebuah cerita, setelah menyeruput kopi hangat bapak mulai berbicara.

Seorang pria yang sedang bekerja diladang tiba-tiba saja mendapat kabar dari temannya bahwa anaknya sakit parah. Dengan tergesa-gesa tanpa membasuh dulu kotoran lumpur dalam tubuhnya dia menyalakan motor bebek yang dibawanya, dia memacu kendaraannya dengan kencang membawa perasaan was-was karena takut terjadi sesuatu dengan anaknya. 

Brakkk!! Tanpa diduga disebuah kelokan dia menabrak seorang pria. Warga yang melihat kejadian itu geram dan langsung menghakiminya.

“makanya kalau bawa motor jangan ngebut-ngebut.” Teriak salah satu warga sambil melayangkan pukulannya bertubi-tubi.

Pria yang ditabrak itu akhirnya tewas, karena mengeluarkan banyak darah dari kepalanya. Melihat korbannya mati, warga semakin geram dan membabi-buta menghakimi, hingga akhirnya pria yang membawa motor bebek itu juga ikut tewas.

Hari itu ada dua mayat yang tergeletak dijalan, ada dua perempuan yang telah menjadi janda, dan ada dua anak yang telah menjadi yatim. Namun ada puluhan warga yang mencuci tangannya disungai karena terkena cipratan darah.

“hah, maksudnya apa pak ?” saya kebingungan setelah selesai mendengar cerita bapak.

Tapi bapak malah berlalu masuk kedalam rumah meninggalkan saya sendiri yang masih kebingungan, hingga akhirnya adzan magrib berkumandang.

TAMAT

AAAAA


πŸ”₯KISAH SERU PERJALANAN SEMBUH DARI SIHIR



☑️ Apakah anda terindikasi sihir (gangguan jin) & sudah menahun?

☑️ Ruqyah sembuh kumat lagi?

☑️ Sihir sudah sangat melemahkan mental anda?

☑️ Bahkan sudah menghancurkan seluruh sendi kehidupan anda?

Assalamualaikum wrwb. Bismillah kami menawarkan kepada anda yang sedang mengalami gangguan jin khususnya sihir sebuah buku yang berjudul:

πŸ‘³πŸ»‍♂️ Kisah Pendekar Langit

πŸ’₯ Pertempuran Sihir Berdarah

Rahasia Membongkar & Menghancurkan Tipu Daya Sihir

Buku ini berisi kisah pengalaman seru bagaimana kami melawan sihir (santet, teluh, tenung dll) yang sangat mematikan sehingga Allah swt berikan kesembuhan yang sempurna. Sangat direkomendasikan untuk anda yang terkena gangguan jin khususnya sihir menahun yang belum juga diberikan kesembuhan.

πŸ“• Spesifikasi Buku

✅ Pengarang: Adhin Busro

✅ Jumlah halaman: 731 Halaman

✅ Size Layout: A5

✅ Huruf Garamound 12 inch

✅ Kertas: HVS 70 mg

✅ Cover: Soft Cover

Harga: Rp. 299.000

Special Promo: 199.000

Konsultasi gratis

Tersedia grup WA

Buruan ambil promonya stok terbatas.

Order langsung via WA klik πŸ‘‡πŸ‘‡

https://wa.me/6281315365212

Selengkapnya klik https://sites.google.com/view/pendekarlangit

Demikian kisah Nyata Santet, Balas Dendam Arwah Gentayangan. Menegangkan khan? Share kisah Nyata Santet, Balas Dendam Arwah Gentayangan ini ke teman anda pencinta horor ya?

Semoga menghibur




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kitab Penghancur Sihir Panduan Menghancurkan SIhir Santet Sampai Tuntas

Assalamualaikum wrwb. Perkenalkan saya Pendekar Langit dengan bangga mempersembahkan buku panduan dengan judul "Kitab Penghancur Sihir&...